Senin, 06 April 2015

Himawari : By. Nona Violet



Author : Nona Violet
Rate : M (Lemon Inside)
Genre : Rape, Hurt, Angst.
Cast : Bening ,Bumi, Galan, Bintang.



"Bunda?"
Dengan takut-takut bocah itu mencoba berbicara pada sesosok wanita yang sedang melepas sepatu kerjanya. Ditangannya membawa piring berisi telur dadar setengah matang.


Wanita itu menghentikan kegiatannya dan menatap benci sesosok kecil itu didepan pintu kamarnya,"Jangan panggil aku bunda! Berapa kali harus kukatakan jangan panggil aku bunda!" Hardiknya.


"Tap-tapi bunda..."


"KAU TULI?!" Bentaknya membuat tubuh kecil disana bergetar.


Pria kecil itu menundukan kepalanya, menahan sesak didada kecilnya. Apa salah jika dirinya hanya ingin memberikan telur dadar kesukaan bundanya? Apa salah jika ia ingin berbakti dan ingin disayangi orang tuanya?.


"Bunda... aku hanya mengantarkan telur ini untuk bunda." Jawabnya tidak menyerah.


Wanita cantik itu berdiri dan menghampiri bocah itu dengan sorot mata penuh kemarahan, tapi bocah itu tersenyum senang meski sorot mata itu mengecilkan nyalinya, Tetapi dugaannya salah wanita itu mengambil piring berisi dua potong telur dadar itu dan membuangnya dengan kasar.


'PRAAANGG!'


Lalu wanita itu dengan kasar memegang kedua bahu kecil anaknya dan menggoncangnya dengan kasar pula.
"DENGAR YA BINTANG! JANGAN PANGGIL AKU BUNDA! DAN JANGAN PERNAH MENGGANGGUKU, AKU MEMBENCIMU DAN SANGAT MUAK DENGAN SEMUA INI! KAU INI ANAK SIALAN!"


"Bundaaaaaa...bundaaaa...Bintang minta maaf bundaaa..." Bocah kecil itu berlutut dikaki bundanya, tangisnya pecah saat dada kecilnya tak mampu lagi menahan tekanan yang begitu berat, dia mendengar sendiri ibu kandung yang sangat ia cintainya itu membencinya.


"MENJAUH DARIKU! AKU TIDAK SUDI MENJADI BUNDAMU!" Wanita itu membentak matanya mulai berkaca-kaca menatap bocah itu memeluk kakinya memohon ampun.


"Berhenti membentaknya Bening!"


Wanita bernama Bening itu menoleh kesumber suara yang menghentikannya. Dia tak perlu heran kenapa pria itu bisa masuk kedalam rumahnya, karena dia sendiri yang memang punya duplikatnya. Yang membuatnya heran sejak kapan pria itu kembali ke Jakarta tanpa memberitahunya.


"Bumi?"


Lalu pria bernama Bumi itu mendekati Bintang yang menangis sesenggukkan dan membantunya berdiri dan menenangkannya. "Om bumi..." Bintang memeluk Bumi dengan lega, sejak dahulu sahabat bundanya itu selalu menjadi sosok penolong untuknya.


"Bumi harus kubilang berapa kali jangan manjakan anak itu!" Bening berusaha memisahkan pelukan Bintang pada Bumi.


Pria itu menepis tangan Bening, "Kau keterlaluan Bening! Kau kasar! Aku fikir kau sudah berubah!"


"Dan bukannya kau tau dari dulu aku tidak pernah menginginkannya!" Jawab Bening membuat sepasang mata kecil yang bersembunyi dipelukan Bumi itu semakin basah.


"Kau tau setiap aku memandang matanya aku merasa muak?!" Lanjut Bening dan sukses membuat bocah itu seperti mau pingsan karena hatinya begitu sakit.


"Kau tau tau betapa tersiksanya aku selama ini tinggal bersamanya?! Aku benci mata itu aku benci Bumi aku tidak pernah menginginkannya!"


"BENING!" Bumi meninggikan tangannya bersiap memukul Bening, tapi ia urungkan.


'Cukup!' Kata itu yang seharusnya ia loloskan dari mulut kecilnya, tapi Bintang tak sanggup dia hanya mampu menangis dan menutup telinganya, menggeleng frustasi berharap tak mendengar kata-kata menyakitkan itu keluar dari mulut bundanya. Lalu dirinya melepaskan pelukannya pada Bumi dan berlari keluar rumah meninggalkan kedua orang dewasa yang sibuk bertengkar karenanya.


"......!"


"Bintang?! Bintang Tunggu!" Bumi berusaha menghentikan Bintang, tapi bocah berusia 6 tahun itu berlari dengan gesitnya. "Ini gara-gara kamu Bening!" Bentak Bumi, lalu meninggalkannya begitu saja dan mengejar bocah kelas 1 SD itu.


Sedangkan Bening hanya mematung dengan raut wajah menyesal, mungkinkah dia benar-benar keterlaluan kali ini.
Dibawah naungan langit yang menghitam dan hujan yang mengguyur ia langkahkan kaki-kaki kecilnya itu dengan gesit diatas trotoar, dia tak tahu mau kemana yang jelas harus pergi sejauh mungkin, jauh agar ia tak lagi mendengar kata-kata menyakitkan yang masih terngiang ditelinganya. Dia terus berlari walau dengan samar mendengar suara laki-laki dewasa memanggil namanya, itu pasti Bumi. Siapapun itu Bintang tak akan berhenti, dia hanya ingin pergi.


“Bintang tunggu om!” Teriak Bumi berlari mengejar bocah itu bahkan kemejanya telah basah oleh air hujan, Bumi sangat khawatir dengan Bintang. Tapi teriakkannya tak mampu menghentikan anak berusia 6 tahun yang terus berlari itu.


Dan kekhawatiran Bumi terjadi, kaki kecil itu tersandung batu dan membuatnya terjatuh. Meski begitu Bintang tidak terlihat kesakitan dia mencoba untuk berdiri dan berlari lagi, melihat kesempatan itu Bumi berlari dan berniat menghentikan Bintang. Tapi.


‘BRAAAAKKKK!’


Pohon dipinggir jalan yang tiba-tiba ambruk itu membuat Bumi mematung sesaat. Bahkan saat pohon itu menyentuh tubuh kecil yang sangat dia sayangi itu dia tak mampu berbuat apa-apa, terlambat. Bahkan hanya untuk berteriak dan memanggilnya saja itu sudah terlambat.


Iya. Pohon itu tumbang kejalan, tubuh kecil Bintang tertimpa pohon. Bumi tersadar dan berlari menolong Bintang, dia memanggil-manggil Bintang panik. Kepala Bintang berdarah banyak, “Bun-da, Bin-tang sayang Bunda om...Bintang sayang Bunda...” Ucapnya sambil menangis, lalu tak lama Bintang pingsan.


Dan entah sejak kapan dibelakangnya sudah berdiri Bening, memandang tak percaya atas apa yang terjadi. Dia terlihat sangat shock melihat anaknya berlumuran darah dipangkuan Bumi, dia menghampiri dan memeluk Bintang sambil menangis. “Bintang! Bintang bangun nak!” Bening berterak-teriak histeris melihat Bintang tak bergerak lagi. “Bintang bunda mohon nak, Bintang bangun! Bintang maafin bundaaa nak...bunda mohon sayang!”
.
.
.
Bening mondar-mandir gelisah didepan pintu UGD, baru kali ini dirinya merasa sangat khawatir pada anak yang selalu ia kasari itu. Tak lama kemudian Bumi yang merupakan dokter dirumah sakit itu keluar dan langsung diberondong pertanyaan bernada khawatir dari bening, Bumi mengatakan bahwa Bintang masih bisa diselamatkan karena hanya tertimpa dahan yang tidak terlalu besar, namun luka dikepalanya itu membuat kaki dan tangannya patah, dan pendarahan ditempurung kepala membuat Bintang koma.

~~*****~~


Tiga bulan telah berlalu sejak saat itu, namun Bintang belum juga bangun dari tidurnya. Pagi itu seperti biasa, Bening membuat laporan keuangan bulanan dimeja kerjanya, dan beberapa saat kemudian datang Lidya memanggil dan memintanya untuk menemui klien bosnya yang datang dari Surabaya, karena suatu hal bos Bening sedikit terlambat dan meminta Bening menemui tamunya terlebih dahulu.


Dan hal yang tidak pernah ia inginkan sebelumnya terjadi, ia sangat terkejut saat membuka ruang meeting itu. Seorang pria yang tak kalah terkejut saat melihat Bening.


Tiba-tiba tubuhnya dingin dan terasa ringan dadanya sakit. Mata mereka saling bertemu, dan mata yang kini menatapnya itu sangat dia kenal sebelumnya. Sampai kapanpun Bening tidak akan pernah lupakan mata itu.


Air matanya meleleh, perjumpaan dengan pria itu mengingatkannya pada kejadian 7 tahun yang lalu. Saat dirinya masih berusia 20 tahun , saat itu Bening hidup berdua dengan ayahnya, ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya kehilangan kedua kaki akibat kecelakaan saat menjadi kuli bangunan, dan ia memiliki riwayat penyakit jantung kronis. Sedangkan ibunya meninggal saat melahirkan Bening. Mereka berdua hidup diperumahan kumuh dan padat didaerah surabaya, meski begitu Bening adalah gadis yang cerdas dia bisa bersekolah karena beasiswa, bahkan saat dia kuliah dirinya tetap mendapat beasiswa.


Sebelumnya gadis cantik berlesung pipit itu bekerja paruh waktu sebagai penjaga warnet. Uang itu ia gunakan untuk menghidupi diri dan ayahnya, sampai dia berusia 19 tahun mulai masuk kuliah Bening memutuskan untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar. Dan kebetulan saat itu sebuah diskotik sedang membutuhkan waitress, dari lowongan yang ia baca dari tiang listrik ia memutuskan untuk melamar pekerjaan itu. Tidak sulit baginya untuk diterima, karena selain cantik gadis itu juga mampu berkomunikasi dengan baik meski sikapnya sedikit pendiam.

~~*****~~


Hari demi hari ia lalui seperti biasa, bedanya kini ayahnya sering mengeluhkan Bening yang selalu pulang pagi. Memang Bening tidak pernah cerita soal pekerjaan barunya, dia tau ayahnya pasti melarang. Bening hanya berkata, dirinya akan baik-baik saja dan ayahnya tak perlu khawatir.


Ditempatnya bekerja Bening berteman dengan Bumi, Bumi adalah seorang pemuda keturunan Jawa-Jerman. Seperti pemuda blasteran yang lainnya dia memiliki raut wajah yang tampan sekaligus kaya. Bumi dua tahun lebih tua dar Bening, Pemuda itu bekerja sebagai bartender dan dia mengaku kuliah disebuah Fakultas kedokteran di Surabaya. Tadinya Bening tidak percaya, bagaimana seorang calon dokter bisa menjadi peracik racun?? Haha, Bening tertawa saat itu. Pengakuan Bumi seperti mengada-ada, tapi saat itu pula Bumi mengaku bahwa dia tidak pernah mau menjadi dokter, hanya saja kedua orang tuanya memaksa. Padahal cita-citanya menjadi koki atau bartender seperti sekarang.

~~*****~~


Seperti malam-malam sebelumnya diskotik tempat Bening bekerja baru akan ramai pada tengah malam. Musik diputar semakin keras, lampu laser berwarna-warni dinyalakan agar menambah kesan meriah. Dari pintu masuk yang dijaga dua security, tampak seorang pemuda tanggung berpakaian semi formal dengan jas dan inner kemeja putih tanpa dasi mulai memasuki tempat itu, baru saja masuk indra penciumannya sudah disambut oleh bau alkohol bercampur aroma-aroma parfum murahan dari para wanita penghibur , tch! membuatnya sedikit mual.


Dengan wajah angkuhnya pria tampan itu memasukan kedua tangannya kedalam saku celana, dan dengan tatapan mata yang tajam ia berusaha mencari sesosok yang ia kenal. Tapi tempat itu terlalu gelap dan teman-temannya juga entah dimana. Yah meskipun tempat ini adalah milik papanya, dia tetap tidak tau dimana teman-temannya duduk. Dirinya baru kali ini datang setelah satu tahun diskotik itu berdiri, karena selama ini dirinya hidup diluar negri.


Keadaannya yang sendirian dan tampak sedikit bingung, membuatnya menjadi sasaran empuk para wanita penggoda. Beberapa kali dia dihampiri dan digoda wanita-wanita berpakaian minim, murahan dan tentu saja menjijikan itu membuat dirinya risih.


“Menjauh dariku jalang!” Usirnya saat wanita sexy berpakaian serba menonjolkan lekuk tubuhnya itu mencoba menggoda sang pangeran.


Dasarnya wanita murahan, ia tak sakit hati meski dikatai seperti itu malah tangannya berani menyentuh kemaluan pria itu seraya berkata, “Sombong sekali tampan... Kau belum pernah merasakan lidahku me_”


Dengan kasar pemuda itu menepis tangan kotor wanita itu, “Beraninya kau menyentuhku pelacur murahan! pergi atau kubunuh kau sekarang juga!” Ancamnya membuat wanita itu pergi dengan sedikit sewot.


“Galan kau sudah lama?” Seseorang menepuk pundak sang pangeran bernama Galan itu, nama yang sangat melukiskan dirinya yang begitu tampan dan terlihat sangat berani.


“Tch! kau_” Tanggapnya seperti biasa, dingin dan singkat.


“Hahaha... maaf aku membuatmu mencari-cari.” Pemuda tampan berambut jabrik itu tertawa jahil mendapati sahabatnya memasang ekspresi kesal, lalu merangkulnya dan mengajaknya pergi. “Ayolah kita bergabung disana.”


Kedua pemuda yang tampak akrab itu menuju sebuah sofa dipojok bar, disana sudah ada beberapa pemuda yang lainnya dan tentu saja wanita penghibur yang menemani mereka minum dan tertawa lepas. Setelah berbasa-basi dan menyambut Galan yang baru saja kembali lagi ke Indonesia mereka melanjutkan kesenangan itu.


Semakin malam suasana semakin panas, bahkan beberapa dari mereka bergantian turun kelantai dansa menikmati dentuman musik racikan female DJ yang sexy. Pesta sangat meriah, mereka berpesta seakan esok tak ada lagi hari.


Sedangkan dimejanya, Galan berkali-kali menegak minuman memabukan itu dari sloki, setetes demi setetes minuman haram itu menyiram tenggorokannya, ia rasakan cairan itu membuat dirinya sedikit lebih baik. Pemuda pemilik mobil Lexus keluaran terbaru itu memang bisa dikatakan sedang dalam keadaan yang tidak baik, dia pulang ke Indonesia karena Clara kekasih yang sangat dicintainya ternyata menghianatinya, Clara menikah dengan pria yang menghamilinya. Galan merasa sangat terpukul dan memutuskan untuk pulang.


Tak terasa juga waktu sudah menunjukan 02.00 dini hari itu pertanda pesta telah usai, musik juga sudah dimatikan dan pengunjung mulai meninggalkan tempat itu. Satu persatu teman pesta Galan juga berpamitan pulang hanya menyisakan Aga pemuda yang menjemputnya tadi, sahabatnya sedari kecil anak seorang pengusaha kaya, Aga masih setia menemani Galan yang hampir tak mampu menyangga kepalanya sendiri.


“Sudah cukup bodoh!” Aga merebut sesloki minuman yang hampir saja Galan minum, “Kau mau mati konyol ha??!” Ucapnya sedikit membentak.


“Hn.”


“Ayo kuantar kau pulang, tempat ini sudah tutup.” Aga yang sebenarnya sudah sangat pusing itu pun berusaha menarik tubuh Galan yang tak bisa berdiri sendiri, tapi dengan kasar Galan menepis bantuan Aga.


“Kau pulang saja aku masih ingin disini!”


“Sudah cukup bodoh! Kau sudah mabuk.” Aga tetap berusaha membuat tubuh sahabatnya itu berdiri.


“Sudah kubilang aku ingin disini!” Tolak Galan mendorong tubuh tegap Aga sampai dia terduduk kembali disofa.


“Baiklah terserah kau saja dasar kepala batu.” Sedikit sempoyongan pemuda berusia 21 tahun itupun akhirnya berdiri, “Dengar jika terjadi apa-apa padamu jangan lupa menelponku.” Ucapnya, tingkahnya memang selalu begitu perhatiannya kepada Galan memang sangat mirip dengan wanita yang protektif terhadap pasangannya.


“Iya aku mengerti dasar nenek-nenek cerewet.” Umpat Galan membanting punggungnya disandaran sofa sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dia merasa sangat pusing. Sementara Aga berjalan meninggalkannya sendirian dan beberapa saat kemudian sudah tidak terlihat lagi dari pandangannya.
.
.
.
Dari arah pintu karyawan, Bening membiarkan teman-temannya sesama waitress pulang dahulu, lalu ia mengunci pintu ruangan dan berjalan keluar, tapi baru beberapa langkah ia sudah dihentikan managernya Alex.


“Bening, Bening kesini sebentar.


Tanpa ragu Bening menghampiri managernya, dia bersama seorang pemuda yang terlihat sangat mabuk disalah satu meja. Ternyata Pak Alex meminta dirinya untuk mengantar pemuda ini, pemuda yang tak lain adalah anak bosnya untuk kembali ke apartemennya diujung jalan. Bening sudah menolak sopan tapi pak Alex sepertinya benar-benar butuh bantuan.


“Ayolah hanya sebentar ini kunci mobil dan apartemennya, dan ini uang taksi.” Tanpa menunggu persetujuan Bening pak Alex memberikan benda-benda asing itu ditangan Bening. “Sebenarnya aku yang harus mengantarkan tuan muda, tapi anak saya sakit. Bumi hari ini dia libur aku tak bisa menyuruhnya, yang lainnya sudah pulang. Kalau tuan muda tidak diantar saya pasti dipecat tuan besar Wijaya. Jadi kau mau kan menolongku?. ” Terang pak Alex meyakinkan Bening.


Bening menghela nafasnya dalam-dalam sepertinya dia benar-benar harus menolong managernya itu, “Hh...iy-iya pak baiklah". Jawabnya pasrah.


Setelah Bening setuju pak Alex kemudian memapah Galan kedepan untuk mencegat taksi, dan tak lama kemudian taksi datang lalu keduanya masuk kedalam dan pergi meninggalkan pak Alex.

~~*****~~


“Kamar 101...kamar 101,” Dengan susah payah Bening memapah pria itu sambil menengok kanan kiri mencari kamar 101. Sedangkan pemuda mabuk itu sesekali menceracau tidak jelas, kadang mengumpat kadang berbicara sedih, seperti orang frustasi. Membuat Bening sedikit ngeri.


Setelah berjalan sekitar 15 menit dirinya menemukan kamar Galan, hati-hati dia membawa tubuh anak bosnya itu masuk kedalam lalu membaringkannya diranjang. “Huuh...” Menghela nafas lega saat tugasnya selesai, sesekali mata sipitnya melirik seisi kamar apartemen yang mewah ini. Isinya lengkap, televisi besar, ac, kulkas, bahkan dekorasi kamar dominan warna putih bersih dan hitam itu membuat ruangan ini tampak mengagumkan untuknya. Sekilas ia berandai-andai bisa menempati ruangan sebagus ini. Apalagi sesosok pemuda yang ada didepannya itu, tampan. Sayang sekali pemuda kaya dan tampan sepertinya harus harus mabuk-mabukan tidak jelas pikirnya.


Bulatan mata sipit itu bergulir kearah jam dinding yang ada diatas jendela, waktu menunjukan pukul 03.10 itu artinya dia terlambat pulang 30 menit, diapun bergegas meninggalkan pemuda itu tapi tangannya ditahan.


“Tunggu, kau mau kemana? Malam ini kau menemaniku kan Clara?”


Suara berat Galan membuat gadis berlesung pipit itu menengok, dan dia dapati pemuda yang diantarnya itu tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Bening tau itu bukanlah isyarat yang baik.


Menyadari dirinya dalam bahaya Bening cepat-cepat berpamitan, “Maaf tuan saya harus pulang,”


“Tidak ada yang boleh menolakku!”


‘SET’


Hanya sekali tarikan Bening sudah berhasil ditarik kedalam pelukan Galan, posisinya berhadapan berada diatas tubuh atletis Galan, tangan kekar itu berhasil melingkar sempurna dipinggang Bening yang ramping. “Jangan tinggalkan aku lagi.” Ucapnya saat hidungnya menghirup leher Bening dan mengunci tubuh mungil itu dengan kuat, yang memungkinkan mangsanya tak akan lolos meski tubuh itu mulai meronta sekuat tenaga.


Pria berambut gelap itupun dengan sekali gerakan sudah berhasil membuat tubuh mungil Bening berada dibawahnya, mencengkeram kedua pergelangan tangan wanita yang mulai meronta tidak nyaman itu dan menyelipkan hidung mancungnya keleher jenjang Bening, menghisapnya dengan gemas dan menjilati dengan kasar. Geli sampai membuat bulu Bening meremang.


Gadis itu sangat takut, membuat butiran suci itu meleleh dari kedua kelopak matanya yang indah. Apalagi dengan kasarnya Galan merobek kemeja putih yang Bening pakai sampai kancingnya bertebaran entah kemana, lalu pemuda itu dengan kasar meremas gundukan dada kiri Bening yang masih terhalang bra sederhana berwarna putih.


“Jangan...kumohon..” Rengekan memelas, tapi sayangnya itu tak akan membuat sang harimau yang lapar berhenti mencabiknya.


Mata elangnya menatap tajam pada gadis yang terlihat ketakutan itu. Hn! Munafik! Semua wanita ingin ditidurinya tapi gadis itu berakting seolah–olah menolak dirinya, apa yang diinginkannya? Dasar murahan, pasti dia ingin dibayar dengan harga tinggi bukan?, Sang pangeran akan berikan itu jangan meremehkannya.


Tapi salah, gadis itu benar-benar ketakutan. Bahkan dia memilih memejamkan matanya saat tangan kekar itu dengan kasar menarik branya sampai terlepas lalu melumat salah satu puncak dadanya yang kemerahan.


“Ahn!” Hanya itu yang keluar dari mulutnya, seharusnya dia berteriak tapi keadaan itu membuat lidahnya terasa kelu. Bahkan saat tangan kanan pria asing itu mulai menyingkap roknya, melepas celana dalamnya dia hanya bisa mencicit ketakutan.


Lalu dengan kasar pria itu menyentuh kepunyaannya, Bening hanya mengerang pelan dan bergerak tidak nyaman, padahal gerakan semacam itu sama sekali tidak membuat Galan kesulitan saat jari-jarinya ia gesekan ditempat paling pribadi itu, bahkan saat jari tengahnya ia lesakkan kedalam lubang milik Bening hal itu tidak terlalu sulit.


‘Hn! licin, lihatlah wanita ini. Bahkan dia basah saat diperkosa? Ayolah nona, kenapa kau tidak diam dan menikmati saja. Galan menyeringai melihat ekspresi itu. Kemudian iaa gerakan jari tengahnya keluar-masuk dalam lubang sempit yang sudah basah itu.


Galan menurunkan kepalanya tepat didepan area pribadi Bening, sebelumnya ia sudah membuka lebar-lebar paha mulus itu dengan kedua tangannya. ‘Glek’ pemuda penyuka parfum Bvlgari itu menelan ludah saat mata Onyx-nya melihat milik Bening begitu menakjubkan,


Benda sebesar kacang itu basah mengkilap, juga lubang sempit berwarna merah bagai bibir bayi itu membuatnya kalap. Galan langsung membenamkan kepalanya disana, menjilat kacang itu dengan ujung lidahnya, lalu menghisap benda itu kuat-kuat. Kemudian menusukan ujung lidahnya yang kaku kedalam lubang merah itu.


Dia tak peduli tubuh gadis itu mengejan melengkung akibat perbuatannya, bahkan sesekali bulatan Onyxnya sengaja melirik keatas hanya untuk melihat gadis itu membusungkan dadanya yang mengkilap karena liurnya. Perfect! Galan suka itu. Dan ‘Shit!’ celananya terasa semakin sempit, kepunyaannya memberontak melihat tubuh indah itu.


“Aaahn...s-sudah..” Ucap Bening saat merasakan kepalanya begitu panas dan akan meledak, dia tidak suka ini, dia mengutuk perbuatan ini, tapi tubuhnya berkata lain.


Puas mengerjai Bening dibawah sana Galan bangkit bertumpu pada kedua lututnya, Lalu ia buka resleting celana miliknya kemudian memelorotkannya beserta celana dalam bermerk FelixBuhler dan membuangnya. Bening takut sekaligus malu melihat kejantanan Galan yang telah mengacung sempurna. “Kumohon jangan...” Rengeknya pelan saat benda keras itu mulai menggesek pelan miliknya.


“Ssshh...nghh...” Galan mendesah pelan dan mulai menggerakan miliknya kedalam lubang sempit Bening.


“Jangaaan...kumohon...hiks...jangan...” Tolak Bening mendorong dada bidang Galan.


“Diam!”

‘Sret!’


Satu sentakan kasar itu membuat hidup seorang gadis bernama Bening berubah. “Akh!” Airmatanya kembali meleleh saat merasakan miliknya terasa sangat perih. Gerakan menghentak yang baru saja diterimanya menimbulkan rasa sakit dibawah sana, seperti tergores sebuah silet tajam.


Tapi bukan sakit itu yang membuatnya menangis, tetapi karena mulai malam ini dirinya sudah tidak lagi menjadi wanita yang suci.


“BAJINGAN! BAJINGAN KAU! LEPASKAN AKU!” Entah kenapa teriakan itu bisa dia teriakan saat semuanya sudah terlambat.


Sedangkan pria yang sudah tidak peduli apapun yang dilakukan Bening itu semakin kasar menggerakkan tubuhnya, menghujamkan miliknya kedalam lubang Bening yang tidak pernah disentuh sebelumnya.


Galan tak peduli gadis itu memukuli lengannya, mencakar dan menggigitnya berkali-kali. Baginya menikmati penyatuannya dengan Bening saat itu tak bisa diganggu oleh apapun, ini terlalu nikmat dan menyenangkan.


Sesekali Galan menghisap pucuk dada yang bergerak bebas itu, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Bening dengan menciumi lehernya. Galan tau wanita yang sedang digagahinya ini bukan Clara, tapi entah kenapa mengirup aroma tubuhnya membuat Galan nyaman, bahkan melebihi saat bersama Clara.


Galan juga menciumi bibir Bening dengan gemas disela-sela percintaannya, menjilati dan memainkan lidahnya didalam mulut Bening. Meski wanita itu menunjukan penolakannya bukan Galan kalau tidak mendapat apa yang dia mau.


Mungkin sudah 15 menit berlalu dari proses penyatuan itu. Galan semakin tak terkendali, gerakan maju mundurnya juga tak teratur. Nafasnya berat dan wajahnya semakin memerah, ia remas kasar payudara Bening yang menjerit tertahan.


Demi langit Galan tidak pernah merasakan persetubuhan senikmat ini, setengah mati dia menahan gelombang yang sebenarnya sudah datang sejak tadi. “Nggghh...kenapa kau sem-pith sekali? Ngh..”. Dan sudah cukup, ini batasnya ia tak bisa lagi menahan orgasmenya. “Aaakh!” Sekali sentak cairan hangat miliknya itu menyiram rahim Bening.


Gadis yang matanya bengkak itu kembali menjerit saat ia merasakan cairan hangat yang dikeluarkan Galan memenuhi rahimnya, sangat banyak Bening tau itu. Bahkan saat pemuda itu ambruk diatasnya tanpa melepas kejantanannya, Bening bisa merasakan sebagian cairan yang mengotori rahimnya itu meleleh keluar dari miliknya.

~~*****~~


Bening membuka berlahan matanya yang terasa lengket, badannya sakit dan ngilu. Saat mata sayu itu terbuka sempurna yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit ruangan yang bukan miliknya, dia tau semalam bukan mimpi meski ia berharap begitu.


Kepalanya bergerak menoleh kearah seseorang lelaki yang hanya memakai celana pendek, bertelanjang dada menatapnya dengan tatapan merendahkan. Lalu lelaki itu mendekat padanya dan melempar baju bersih dan dua gepok uang ratusan ribu.


“Kurasa itu cukup.” Ucapnya datar.


Bening diam hanya menatap tajam wajah Galan, ingin sekali ia bunuh laki-laki ini. Bening merasa sangat terhina atas perlakuannya. Walau ia yakin uang itu sangat cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama satu tahun, tapi dirinya tidak semurah itu kan?


“Kenapa? Kurang? Akan kuberikan lagi!”


Tuhan...bolehkah Bening membunuhnya sekarang? “BAJINGAN!” Teriaknya diiringi air matanya yang mulai meleleh.


“Hah! Jangan munafik, kau juga menikmatinya semalam!”


“CUKUP!” Bening membentak Galan, lalu dia memakai pakaian bersih yang diberikan Galan dan buru-buru pergi. Membanting pintu dan meninggalkan Galan.


Galan hanya tersenyum kecut merendahkan, “Dasar wanita murahan.” Tapi tak sengaja mata kelam itu melihat bercak darah merah disprei putihnya. “Ck sial!” Tiba-tiba ada rasa sedikit bersalah, tapi Galan yakin gadis murahan itu sengaja melukai tangannya sendiri untuk memberi kesan bahwa dirinya masih perawan, dan meminta bayaran tinggi. Hh! Sempurna sangat sempurna, kebutuhan ekonomi yang mendesak membuat merekapun semakin pintar pikir Galan lalu merebahkan dirinya dsofa.

~~*****~~


Satu bulan berlalu setelah itu, Bening berhenti dari diskotik tanpa berpamitan. Selama setengah bulan Bening kembali bekerja
diwarnet, meski tak sama seperti yang dahulu gadis pemilik rambut selembut sutera itu berusaha bangkit dari traumanya. Sesekali Bumi datang mendukung dan menghiburnya. Namun satu bulan kemudian kabar buruk kembali datang, ia dinyatakan hamil saat diperiksa dokter kampus saat dirinya pingsan. Dengan itu beasiswanya dicabut dan dirinya tidak bisa meneruskan kuliah.


Saat itu jiwanya kembali terguncang, masa depannya benar-benar hancur, pikirannya kalut. Bening memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menabrakkan diri dikereta. Tapi saat itu datang Bumi menarik tangannya.


“KAU MAU APA BODOH!”


“BIARKAN AKU MATI BUMI!”


“AYO PULANG!” Pria itu menarik kasar pergelangan tangan Bening yang meronta, Bumi menyeretnya jauh dari rel tak peduli Bening menjerit-jerit histeris.


Bumi memulangkan Bening dan kembali bertengkar disana, pembicaraan tentang pemerkosaan dan kehamilan itu terdengar oleh ayah Bening. Ayah Bening sangat shock mengetahui itu, pria tua itu menjatuhkan gelasnya dan membuat Bening dan Bumi berlari kedalam.


Terlambat, ayah Bening sudah meninggal karena penyakit jantungnya tiba-tiba kambuh. Saat itu Bumi hanya bisa memeluk tubuh Bening yang bergetar hebat akibat tekanan yang diterimanya, berharap bisa membuat Bening sedikit lebih tenang.

~~*****~~


“Aku mau mengugurkan bayi ini.” Entah sudah berapa kali wanita itu mengatakan hal yang sama, dan pria yang setia menemaninya selama beberapa hari ini lama-lama bosan mendengarnya. Lebih tepatnya bosan membujuknya untuk tetap mempertahankan kandungannya.


Pemuda itu menghentikan kegiatan menata pakaian Bening kedalam sebuah tas dan menoleh padanya, “Sekarang terserah kau saja, tapi jangan harap aku mau mengenalmu lagi!”


“Tapi Bumi ak-“


“Berhenti bicara atau aku keluar?”


"---!"


“Sekarang ayo berangkat, kereta sebentar lagi berangkat.” Ucapnya menggandeng Bening keluar dari rumah kumuh itu.


Mereka akan pindah kejakarta bersama orang tua Bumi, Bumi sudah menceritakan semua kejadian yang menimpa Bening dan orang tua Bumi bersedia membantu Bening dengan membayai kuliahnya, dengan syarat Bumi harus fokus pada kuliah kedokterannya dan menjauhi dunia malam.


~~*****~~


Bening membuka matanya berlahan, kepalanya terasa berat saat bangun dirinya sudah berada diruang rawat dirumah sakit Bumi bekerja.


“Sudah sadar?” Bening menoleh keasal suara yang sangat ia kenal.


“Bumi aku kenapa?” Tanyanya sedikit bingung.


“Kau pingsan,” Pria itu mendekati Bening yang mencoba duduk. “Pria itu, kau sudah bertemu dengannya kan?”.


“Maksudmu??” Bening memiringkan kepalanya bingung.


Bumi tersenyum menatap sahabatnya yang terlihat bingung itu, “Galan. Kau pingsan saat bertemu dengannya kan?”


“Eh...bajingan itu..”


“Aku sudah bicara padanya. Bening, aku tau ini sulit bagimu tapi berilah dia kesempatan untuk berbicara padamu.”


Bening menggulirkan matanya sebal, “Kau sedang tidak membelanya kan? Kau tau kan pria itu siapa? Dan kau seharusnya juga membencinya karna kau sahabatku Bumi!” Tuturnya menahan amarah.


“Anggap saja demi Bintang.”


“Apa? Bintang?”


Pria itu menghela nafasnya panjang, “Hh..biarkan dia bertemu ayahnya.”


“???!”


Seakan menyadari kebingungan Bening ia melanjutkan kalimatnya. “Keajaiban bisa saja terjadi tanpa kita duga, aku sangat berharap keponakanku akan segera bangun saat bertemu ayahnya.” Lanjut Bumi sambil berlalu meninggalkan Bening.


Bening terdiam memikirkan kalimat Bumi, iya dia ingin Bintang kembali. Tapi apakah harus mempertemukan bajingan itu dengan anaknya? Tidak, Bening tidak mau. Tapi bagaimana kalau Bumi benar? Ah kepala Bening terasa mau pecah. Kenapa masa lalu yang dengan susah payah ia hilangkan muncul begitu saja, apa pria itu tidak cukup menyakitinya saat itu.
.
.
.
“Sayang, kumohon bangunlah. Apa kau tak ingin bertemu ayah?” Pria yang biasanya berwajah angkuh itu memandang tubuh lemah Bintang dengan teduh. Sedari tadi tangannya terus mengelus pelan rambut bocah kecil yang merupakan replika dirinya.


Sesekali ia ciumi punggung tangan mungil dengan selang infus yang menempel itu. Hati sekeras bajanya terasa sesak saat melihat kondisi putranya terpasang alat-alat bantu untuk membuatnya tetap hidup. Pria itu merasa dirinya sangat konyol, bagaimana bisa
pria sepertinya begitu melankolis hanya karna melihat bocah ini?

Dan wanita yang sedari tadi berada dibelakangnya itu masih menatap punggung Galan, dirinya merasa bajingan itu tak sebangsat yang dia pikirkan. Hah? benarkah? dia sudah menghancurkan masa depannya kan? Oh tidak tapi hampir, bukankah sekarang dirinya hidup berkecukupan?


Entahlah yang jelas pria itu brengsek, dia melemparnya dengan uang seolah-olah dirinya jalang. Titik! pria itu bajingan!


“Bintang kau dengar ayah??, Bening lihat Bintang bergerak.”


“Ah apa?” Lamunan Bening buyar mendengar suara Galan, lalu ia mendekati Bintang. Bening melihat putranya menggerakan jari-jarinya, matanya masih terpejam tapi juga bergerak-gerak. ”Bintang sayang, Bintang dengar Bunda??” Wajah Bening berubah riang melihat putranya merespon suaranya dengan senyuman tipis, lalu dengan tak sabaran dirinya berlari memanggil Bumi.


~~*****~~


Setelah dipindahkan keruang rawat Bintang sudah bisa ditemui. Bocah itu tersenyum saat Bening dan Galan menciuminya bergantian, Bintang tidak pernah merasa sebahagia ini.


Bergantian mata sayunya memandangi Bening dan seorang lelaki tampan yang diingatnya tadi menyebut dirinya ayah. Seseorang yang entah kenapa membuat Bintang ingin bertemu dan dengan sekuat tenaganya ia berusaha membuka mata dan membuatnya kembali sadar.


“Ayah...? Ayah Bintang belum meninggal?” Ucapnya sambil memegangi tangan Galan didada kecilnya. “Bunda??” lalu mata bulatnya itu menatap Bening seolah meminta penjelasan padanya. Bening diam tak menjawab ia tak mau mengiyakan bajingan itu ayahnya. “Bunda?” Sekali lagi bocah itu memanggil namanya.


Bening tercekat dan menelan ludahnya susah payah. “I-iya, d-dia ayahmu, ayah kandungmu.” Fantastis, dirinya tak pernah menyangka dirinya bisa sesukses itu mengatakannya bahkan diam-diam Galan tersenyum lega mendengarnya.


“Ayah... kenapa ayah tidak pernah menemui kami?.” Pertanyaan itu membuat wajah Galan berubah, dirinya tak tau harus menjawab apa, Bintang masih sangat kecil kan?


“Hai sayang? Bisakah om Bumi memeriksamu sebentar?” Pria yang tiba-tiba muncul dari pintu itu entah kenapa membuat Galan lega, paling tidak dirinya bisa menyiapkan jawabannya nanti.


“Baik om Bumi...”


“Bagus anak pintar”


“Bintang nanti kita bicara lagi ya, ayah ada perlu sebentar dengan bunda.” Galan menarik tangan Bening dengan tiba-tiba tanpa menunggu jawaban Bintang. “Aku ingin bicara padamu sebentar.”


“Jangan coba sentuh aku brengsek!”


~~*****~~


Kedua manusia dewasa itu duduk berdampingan ditaman rumah sakit, keduanya masih diam membisu menatap lurus pada rumpu-rumput yang sengaja dirawat ditaman itu.


“Jujur saja saat itu aku terus memikirkanmu,” Pria yang terkenal dingin itu membuka percakapan dengan gaya khasnya yang stoic. “Aku memang suka berbuat semauku tapi kejadian denganmu itu membuatku merasa sangat bersalah. Tapi harga diri yang selalu kujunjung tinggi itu menghalangiku untuk mencarimu. Aku berharap kau akan datang lagi menemuiku dan memohon untuk kunikahi seperti wanita-wanita lain yang pernah kutiduri, tapi nyatanya kau berbeda kau tidak datang dan itu membuatku semakin gusar. Mati-matian aku menahan diri untuk tidak menemuimu, puncaknya dua bulan sejak saat itu aku memutuskan untuk membanting harga diriku, bahkan aku sudah tidak peduli jika kau sebenarnya adalah jalang seperti dugaanku. Aku mencarimu kemana-mana tapi tidak kutemukan, aku mencarimu sampai aku hampir gila! Lalu orang suruhanku mendapat berita bahwa ayahmu meninggal dan kau pindah kejakarta. Aku semakin frustasi mendengarnya, hati dan otakku yang seharusnya kupakai untuk memikirkan Clara saat itu malah kau curi dengan semena-mena.” Terangnya panjang lebar, bahkan mungkin ini kalimat yang paling panjang yang keluar dari mulutnya.


Bening tersenyum kecut menanggapinya. “Hn, bodoh! Aku baru tau ada makhluk bodoh sepertimu, kau juga sangat cerewet sekarang apa maumu?”


“ Terserah kau mau bilang bodoh, kau tau aku menyimpan sarung bantal yang kau pakai malam itu?, dan aku tidak pernah mencucinya sampai sekarang hanya untuk menghirup baumu. Bahkan darah yang kau tinggalkan dan mengotori spreiku itu tersimpan dengan sangat rapi.”


Hah...bolehkah Bening tertawa dengan sangat keras? Pernyataan itu membuatnya kaget sekaligus merasa geli. Dia tidak menyangka pria yang disebutnya bajingan ini ternyata cukup aneh, iya selain dia sombong pria ini juga aneh.


“Kau aneh! Gila!”


“Terserah kau saja, aku jatuh cinta padamu saat itu bahkan sampai sekarang.” Jawabnya datar membuat Bening tidak yakin pria ini serius atau tidak. “Dan sekarang aku lega melihatmu belum menikah.”


Oh god? Lihatlah pria itu dia dengan sengaja memperkosa dan meninggalkannya begitu saja dan sekarang dia merasa senang saat wanita itu belum menikah setelah 6 tahun berlalu? Dia bodoh apa kejam, bahkan Bening yang mendengarnya itu sedikit tersinggung dan membuatnya berdiri berniat meninggalkan pria itu.


Tapi tangan kekar yang pernah menyentuh tubuhnya itu menahan pergelangan tangannya. “Aku tau ini sulit, tapi aku sangat berharap kau mau menikah denganku.” Dan sekarang dengan santai dirinya meminta wanita itu menikah dengannya?


Bening berbalik dan memiringkan kepalanya sinis “Menikah denganmu? Jangan mimpi!”


Galan menatapnya tajam, tatapan yang pernah Bening lihat saat pria itu berbuat semaunya atas tubuhnya malam itu. “Aku tak peduli kau harus menikah denganku, tidak ada yang boleh menolakku!”


“Aku benci kata-kata itu! Kau bicara seolah kau raja yang bisa mendapatkan apa yang kau inginkan!”


‘Grep’


Tubuh mungil itu sudah berada dalam dekapan hangat pria yang dulu memperkosanya, gerakan penolakan atas perlakuan pria itu lagi-lagi tak dapat dia lakukan. Malahan kepalanya Galan membenamkan kepala Bening pada leher kokoh itu dan entah kenapa membuat tubuh mungil Bening berhenti bergerak.


“Menikahlah denganku, katamu aku raja kau harus menjadi permaisuriku dan kau tidak boleh menolak perintah raja.” Bisik Galan masih mendekap erat tubuh wanita yang sangat dicintainya itu.


Bening memejamkan matanya ia hirup dalam-dalam aroma khas yang menguar dari tubuh Galan. Hangat dan menenangkan, aneh bukan? Padahal beberapa tahun yang lalu aroma itu sangat dia benci, bahkan dirinya harus mandi berkali-kali hanya untuk menghilangkannya.


Entahlah dia harus menjawab apa, dirinya merasa sangat aneh. Hanya dipeluk saja membuat dadanya berdegup dengan cepat, tidak mungkin kan cinta datang secepat itu? Apa dia tolak saja lamarannya, tapi Bintang sangat bahagia bertemu ayahnya. Tidak ini tidak boleh, Bening yakin dia tak harus menikah dengan Galan, tapi sungguh pelukan Galan membuatnya merasa sangat nyaman.


“Bunda, Ayah??”


Panggilan lembut itu membuat keduanya melepaskan pelukan, lalu menoleh dan mendapati Bintang dengan kursi roda yang didorong Bumi tengah tersenyum melihat keduanya. Kedua orang itu lalu berjalan dan mendekati Bintang.


“Ayah dan Bunda akan menikah kan? Itu artinya Bintang akan mempunyai kedua orang tua yang lengkap.” Tatapnya polos.


Galan tersenyum dan jongkok agar bisa menyamakan tingginya dengan bocah itu, “Iya sayang kami akan menikah, dan kita bertiga akan hidup bersama.”


“Bunda...benarkah itu?”


Air mata Bening meleleh melihat rona kebahagiaan diwajah Bintang, selama ini dirinya sudah membuat pria kecil dengan tatapan tanpa dosa itu menderita. Mungkin saat ini adalah waktunya untuk memberinya kasih sayang yang utuh. “Iya sayang.” Jawabnya singkat dengan anggukan.


“Bunda, apa bunda sudah tidak membenci Bintang lagi?”


Bening tersenyum dan duduk didepan Bintang, “Apa yang kau katakan, bunda sangat mencintaimu, bunda janji tidak akan kasar lagi.”


“Terima kasih ya Allah, engkau mengabulkan doa Bintang.” Ucapnya bahagia. “Oh ya Bunda, selamat hari Valentine.” Bocah itu tersenyum lebar membuat pipinya menggembung lucu, ia memberikan seikat bunga berwarna kuning dengan kelopak yang indah.


“Kenapa harus bunga matahari sayang?”


“Karna bunga matahari seperti Bunda, cantik . Mengagumkan, bunda kuat juga baik. Tidak mengusirku saat aku nakal, selalu menyediakan makanan yang enak agar aku tidak mati.” Kalimat indah sekaligus polos itu membuat tiga orang dewasa itu tertawa.


“Sayang... siapa yang mengajarimu? Kau pintar sekali.”


“Om Bumi Bunda..,”


Bening melotot pada sahabatnya itu “Bumi...”


“Hahaha aku hanya memberi taunya jenis-jenis bunga, dan dia yang memilihkannya untukmu.” Jawab Bumi membela diri.


“Satu lagi, bunga matahari itu ayah. Keren dan setia mencintai bunda dari dulu, jadi ini sebagai tanda bahwa aku meminta bunda untuk mengurus ayahku juga. Bunda mau kan menjaga bunga matahari ini untuk Bintang?” Pintanya polos.


“Iya sayang, bunda mau...bunda mau.” Bening menangis bahagia memeluk Bintang, dalam hati ia berjanji tak akan melukai Bintang lagi, dan dirinya sudah memutuskan untuk menerima Galan. Sedangkan Galan tersenyum lega sekaligus bahagia.


Begitupun juga dengan Bumi yang menyaksikan kebahagiaan itu, dirinya merasa lega melihat orang-orang yang disayanginya akhirnya menemukan kebahagiaan.


Terutama Bening, Bumi tidak menyangka sahabatnya itu akhirnya mau membuka hatinya untuk Bintang dan Galan, kini dirinya berdo'a kebahagiaan itu tak akan pernah pergi dari Bening lagi.


“Happy Valentine Bening…”

TAMAT

Kisah Emely




“Mulai sekarang kamu tak usah menemuiku lagi. Kita putus..!”

Seuntai kalimat meluncur cepat menikam jantungku menghentikan udara yang mengalir disaluran pernafasanku. Kalimat itu keluar dari bibir seorang gadis cantik yang telah kupacari selama hampir 3 tahun.

 Gadis bertubuh semampai dan seksi, dengan rambut panjang sering dibiarkan tergerai itu, sedang memandang tajam padaku dengan wajah dingin dan sorot mata yang mengandung kebencian, berdiri tepat didepanku sambil mengacungkan telunjuknya ke wajahku.

“Ada apa denganmu, Emily ?” Aku mencoba tenang dan mengajukan pertanyaan kepadanya.

Dia masih melototiku. Masih saja memandangku dengan tangan terkepal.

“Tak ada alasan apapun yang perlu kau dengar, Jay.“ Ucapnya dingin.

“Setidaknya aku mesti tahu, kenapa kau memutuskan aku begitu saja... “Aku masih saja mencoba mengorek alasannya, meskipun aku tahu tak akan ada jawaban yang kelak akan keluar dari mulutnya.

Emily memalingkan wajahnya. Seakan tak ingin memandangku sama sekali. Bahkan jariku yang mencoba meraih tangannya ditepiskannya dengan keras. Sejenak dia menatapku, senyum patah tersungging dibibirnya.

“Aku tak ingin berdebat denganmu tentang ini, Jay. Aku sudah bosan dengan hubungan kita. Aku tak bisa melanjutkannya lagi. Itu saja...!“

Dingin..., sangat dingin tatapan mata itu. Sinarnya memancar menyusup lewat mataku yang balas menatapnya, menusuk tajam dan mengoyak-ngoyak hatiku yang tak pernah lekang mencintainya.

“Dan aku minta mulai sekarang kau tak usah menemuiku...”

[i]Clebbbbbbb[/i]

Sakit rasanya. Terasa lebih sakit dari jatuh pada ketinggian 20 kaki saat menolong Emily yang terjebak tebing tinggi dan tak bisa turun saat kami melakukan pendakian minggu lalu. Terasa lebih sakit saat mengalami patah lengan waktu tabrakan dengan sepeda motor ketika hendak menjemputnya yang terjebak hujan deras di halte menunggu jemputan yang tak kunjung tiba sebulan yang lalu. Terasa lebih sakit ketika saat harus menjadi bulan-bulanan preman yang mencoba mengganggunya dua bulan yang lalu. Terasa lebih sakit dari semuanya....

 “Aku mohon, Emily. Jangan mengambil keputusan sepihak seperti itu. Jangan lupakan apa yang telah kita lalui bersama, Emily...” Ucapku mencoba memohon.

Saat itu aku sangat berharap Emily akan tersenyum manis kepadaku dan berkata ‘ini hanya candaanku, Jay’. Ya, aku berharap dia mengatakan itu...

“Kisah tentang kita telah berakhir, Jay “ Emily tersenyum sinis. “Dan itu adalah kenangan terburuk dalam hidupku...”

Aku tercekat. Mataku nanar memandangnya. Semua harapanku untuk tetap bersamanya dihempaskannya begitu saja.

“Selamat tinggal, Jay .“ Ucapnya lalu masuk ke dalam mobil New Kia Picanto berwarna Merah Muda miliknya dengan satu hempasan kuat pada pintu mobilnya.

“Tidak ! Aku tak bisa menerima keputusanmu Emily. Aku terlalu mencintaimu...” Jeritku tak peduli dia mendengarnya atau tidak. Aku masih berdiri terpaku, saat Emily pergi meninggalkanku sendirian di parkiran kampus. Laju mobilnya yang semakin menjauh seakan ikut menyeret separuh hidupku bersamanya. Tak bisa kumengerti keputusan sepihak yang diambilnya.

Sungguh rasanya aku tak ingin mempercayai semua ini. Emily yang sekarang telah berubah 180 derajat. Dia bukan lagi Emily yang ku kenal. Lenyap segala hal indah dan nyaman pada dirinya. Emily yang ku kenal adalah seorang gadis lembut, manja, dan selalu memberi senyum manis untukku, rela mengurai airmata kala aku sedih, selalu ada untukku dengan hati penuh cinta.

Emily yang sekarang benar-benar telah berubah. Entah karena apa.


[center][size=4]***
*******
***[/size][/center]

“Cari non Emily, Den ?” tanya Bi Inah sopan saat aku datang malam itu ke rumah Emily.

“Iya, Bi. Orangnya ada, Bi ? “

“Bibi tak melihat pasti Den. Tapi tadi bibi dengar suara Non Emily kayak lagi ngobrol sama seseorang didalam kamarnya...”

Dengan siapa Emily dalam kamarnya ? tak biasanya dia mengajak temannya masuk kamarnya selama ini. Tak ada satupun yang boleh masuk ke kamar itu kecuali aku. Segera aku melangkah masuk. Bibi pembantu yang sedang berdiri menghalangi jalan masuk aku dorong dengan pelan, membuat bibi menjerit kecil saat tanpa sadar tanganku menyentuh gundukan payudaranya. Aku cuek saja, terus melangkah dan menaiki tangga menuju ke lantai atas tempat kamar Emily berada. Tak ada suara apapun kudengar dari dalam kamar. Kutempelkan telingaku ke pintu kamarnya. Hening.

“Emily ? buka pintunya. Ini aku, Jay. Kumohon buka pintunya. Kita harus bicara, Emily “ Tak sabar aku langsung mengetuk pintunya dan mengucapkan kalimat permintaan itu padanya.

Suara langkah kaki terdengar pelan. Lalu gerakan berputar pada hendel pintu, dan seraut wajah cantik yang selalu kurindu muncul dari balik pintu kamar itu.

“Heh ??? Kamu ??? mau apa kesini ?” Suara tak sedap terdengar dari mulut Emily. Wajahnya masam dengan ekspresi yang tak ingin diganggu.

“Kita mesti bicara, Emily.”

“Bicara soal apa..? Apa kamu tak dengar apa yang aku katakan di kampus tadi ? Oh, baiklah. Aku akan ulangi. Buka lebar-lebar kuping budekmu itu. Kita Putus. Titik ! “ Dan [i]Brakkkk !!![/i]. Pintu kamar dibantingnya dengan keras.

Aku berdiri terpaku memandang pintu kamar yang hampir saja jebol karena dibanting Emily. Ada apa denganmu Emily ? mengapa kau berubah drastis tanpa alasan yang jelas ?
Aku masih tetap berdiri memandang pintu kamar itu ketika pintu kamar itu terbuka lagi, Emily muncul dari balik pintu. Hatiku agak sedikit terhibur dan seberkas harapan muncul disana. Siapa tahu Emily berubah pikiran, memohon maaf atas perlakuannya barusan, lalu kami...

“Sekali lagi kamu menemuiku dan menggangguku..., maka jangan salahkan aku jika berlaku kasar sama kamu ! ingat ! sekali lagi kamu ingat baik-baik, Bodoh ! Jangan ganggu aku lagi !!!” Untuk kedua kalinya pintu kamar itu dibanting, mengeluarkan bunyi benturan keras.

Aku tercenung. Semua sudah terjawab kini. Hati Emily sudah benar-benar terkunci untukku, seperti pintu kamarnya yang telah dikuncinya rapat-rapat.

“Baiklah Emily. “ Ucapku setengah berteriak agar dia bisa mendengarnya meski pintu kamarnya tertutup rapat. “Aku merasa tak pernah sekalipun menyakitimu. Aku merasa tak berbuat salah padamu, kecuali atas pradugamu padaku yang tak pernah kau jelaskan padaku. Aku akan pergi, dan tak akan menemuimu lagi. Semua kenangan indah yang pernah kita lalui akan kuhapus dan akan kutinggalkan didepan pintu kamarmu ini “

Setelah mengucapkan serentetan kalimat itu aku melangkah gontai keluar dari rumah Emily. Rumah yang mungkin tak akan pernah ku injak lagi selamanya.

Ku starter sepeda motorku. Sejenak pandanganku ku arahkan ke kamar Emily, lampunya masih menyala. Namun harapan terakhirku melihat Emily menjulurkan kepalanya keluar dari jendela dan melambaikan tangannya mengucapkan ‘Selamat Jalan Jay’, itu hanyalah keinginan semu semata.

“Selamat tinggal Emily...” Bisikku pelan diiringi luruhan air mataku membasahi pipi.


~~~~*******~~~~~


Sebuah mobil Honda Jazz warna hitam kulihat diparkir didepan rumah Emily saat malam itu aku melintas lewat di depan rumahnya. Tak tahu itu mobil siapa, yang pasti bukan milik Emily juga bukan milik Papanya.
Ada seseorang yang datang menemui Emily. Tak mungkin ini tamu Papa Emily, karena aku tahu pasti dari cerita Emily bahwa Papa dan Mamanya sedang berada diluar negeri untuk waktu sebulan.
Apa mungkin itu mobil pacar baru Emily ? artinya Emily punya pacar sekarang, dan pacarnya itu sedang menemuinya ?

Ada perasaan geram dalam hatiku. Inikah penyebab Emily memutuskan aku ? alasannya selama ini yang katanya sudah tidak ada lagi kecocokan diantara kami sebenarnya adalah hanya karena dia sudah mempunyai seorang pacar yang tajir? Brengsek !!! inikah bukti ikrar yang diucapkannya kala kami masih bersama, tak akan terpisahkan oleh godaan apapun dan tak akan lekang oleh hujaman sengsara sebesar apapun ?

Dengan mengendap aku melihat ke dalam rumah melalui jendela. Tak kelihatan siapapun. Lampu dalam rumah temaram. Gagal melihat lewat jendela, aku menuju ke pintu rumah. Aneh. Pintunya tak dikunci. Ada perasaan was-was dalam hatiku. Dengan pelan ku buka pintu dan kupertajam pandanganku ke dalam rumah. Tak ada siapapun.
Segera kuloloskan tubuhku masuk ke dalam lalu menutup kembali pintu. Ku berjalan berjinjit agar tak menimbulkan suara. Sepi. Dimana Emily dan pemilik mobil itu ?
Aku melangkah menuju ke arah tangga lalu naik dengan mengendap-ngendap menuju ke arah kamar Emily. Bersyukur Emily teledor kali ini dengan tidak mengunci pintu rumah.
Dengan tetap mengendap-ngendap aku mendekati pintu kamar Emily. Dadaku mulai berdegub kencang. Samar-samar kudengar suara erangan nikmat... eh bukan...! erangan kesakitan...!
Ada apa ini ? apa yang sedang terjadi pada Emily ? aku makin berdebar.
Kali ini Emily teledor lagi. Pintu kamarnya tak ditutup dengan sempurna. Dengan sangat pelan aku mendorong pintu kamar lalu mencoba mengintip dari celah yang sedikit terbuka. Suara itu semakin jelas terdengar, suara erangan kesakitan.

Dunia terasa berputar, dadaku terasa panas, saat kulihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Emily sedang terlentang bugil dengan tangan terikat menyatu dengan kepala ranjangnya. Seorang pria yang juga bugil sedang melecutkan cambuk kecil ke tubuhnya. Suara jerit tertahan keluar dari mulut Emily saat cambuk itu mengenai kulit mulusnya. Ingin rasanya aku segera menerjang masuk dan menghajar pria itu, namun aku tahan, aku ingin mengetahui lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi.

Satu hal yang membuat aku semakin gemetar menahan rasa marah dan gugup,  Blazer yang tergeletak begitu saja dilantai kamar itu...! Blazer berwarna cokelat yang kulihat dipakai oleh wanita yang menari bugil ditengah taman semalam, juga tank top itu, rok itu, semuanya adalah yang dikenakan wanita penari bugil semalam.
Artinya ? wanita semalam itu adalah Emily...! ya Emily ! dan mereka pasti melakukan ini sejak semalam hingga sekarang...! atau setidaknya Emily tidak mengganti bajunya sejak semalam..., apa iya ?

huh.......

Nampak pria itu menghentikan pecutan cambuknya ke tubuh Emily yang sudah sangat kesakitan. Ikatan pada tangan Emily dibukanya, lalu dengan kasar dipegangnya kepala Emily, dengan jambakan yang keras pada rambutnya, diseretnya tubuh Emily ke pinggir ranjang hingga pada batas bahu  sehingga kepala Emily terjulur ke bawah dengan mulut yang ternganga lebar.

Aku makin melototkan mata melihat apa yang dilakukan pria itu selanjutnya pada Emily. Penis pria itu mengacung dengan tegangnya. Ukurannya lebih besar dan lebih panjang dari penisku.
Sambil membuka mulut Emily, digenggamnya batang penis besarnya, lalu diarahkan ke mulut Emily.

blesssss...

Penis itu masuk dengan mulus kedalam mulut Emily. Ditekannya penis itu menyusup lebih dalam hingga ke kerongkongan Emily.
Tangan Emily menekan perut si pria berusaha mendorong tubuh itu, namun sia-sia saja, malah semakin dalam penis itu masuk ke dalam kerongkongannya. Emily tersedak, matanya melotot menahan rasa sakit ditenggorokannya.
Kaki Emily nampak terangkat dan menendang-nendang. Sumpalan penis besar dikerongkongannya membuat jalan nafasnya tersumbat. Pria itu kelihatan menikmati hal itu. Dipompanya penisnya keluar masuk dimulut Emily, lalu ditariknya lepas untuk memberi kesempatan pada Emily untuk mengambil nafas. Air liur kental menetes dari mulut Emily, namun tak berapa lama mulut itu disumpal lagi dengan penis besar milik si pria.

“Ahhkkk...hrrkkkhh... “ Suara Emily terdengar. Entah dia menikmati permainan itu atau tidak, aku tak tahu.

Kembali hujaman-hujaman penis pada tenggorokannya diterimanya lagi. Pria itu memaju mundurkan pinggulnya membuat penis panjang besarnya menggesek kerongkongan Emily. Sekali-sekali tangannya menampar pipi Emily. Jeritan-jeritan kecil terdengar keluar dari mulut Emily, namun terus saja pria itu menghujamkan penisnya ke dalam mulut Emily.

Aku terus saja mengintip dari celah pintu yang terbuka. Entah mengapa saat itu aku menikmati pemandangan yang sedang terjadi di depan mataku. Pacarku..., lebih tepatnya mantan pacarku sedang disetubuhi, bukan lewat vaginanya tapi pada mulutnya.
Aku bisa membayangkan betapa menderitanya Emily dengan hujaman penis besar itu pada tenggorokannya, dan aku mulai menikmati pemandangan itu...

Kembali ku tajamkan pandanganku. Nampak mereka merubah posisi. Mungkin si pria sudah puas menyetubuhi mulut Emily dan ingin mencoba hal lain.

Emily bangun dengan rambut acak-acakan. Cairan kental nampak meleleh dari mulutnya. Diambilnya tissue di atas meja kecil dekat ranjang lalu dilapnya cairan kental itu. Si Pria lalu mendekati Emily sambil menggenggam batangnya yang masih mengacung keras. Perlahan didorongnya Emily. Seakan faham dengan dorongan pada punggungnya, Emily merubah posisinya menjadi menungging. Kulihat penis besar itu digenggam si pria dan diarahkan ke vagina Emily. Digesek-gesekkannya sebentar, lalu dengan satu dorongan yang kuat ditancapkannya penis itu.

“Awwwwwhhh....., Robert..., pelan-pelan..., shaakkithhh..” Emily menjerit keras ketika penis itu melesak masuk kedalam vaginanya.

Aku makin menajamkan pandanganku dari celah pintu. Sebesar apakah penis pria yang bernama Robert itu sehingga Emily menjerit kesakitan seperti itu ?
Kuamati dengan seksama. Robert memompa penisnya dengan irama yang teratur diselingi erangan kesakitan dari mulut Emily. Ketika Robert mencengkeram pundak Emily, otomatis terlihat dengan jelas penisnya yang sedang menancap karena posisi mereka tepat membelakangiku dengan kedua kelamin mereka yang jelas terlihat dari arahku mengintip.

Owh..! bukan vagina Emily yang dimasuki penis Robert melainkan anusnya. Pantasan saja Emily terlihat kesakitan. Tangannya mencengkeram dengan kuat seprei dan tepi ranjang. Kakinya terangkat menandakan rasa sakit yang dialaminya. Kepalanya terhempas kesana kemari seiring dengan pompaan penis Robert pada anusnya yang semakin lama semakin cepat, hingga pada pompaan selanjutnya Robert menekan penisnya dengan kuat, lalu terdiam disertai kejutan-kejutan kecil pada tubuhnya. Robert mengalami orgasme.

Aku tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepala. Inikah Emily yang kukenal ? rela disakiti, rela diperlakukan dengan kasar demi memuaskan seorang pria kasar yang mungkin juga adalah pacar barunya ?

Ohhh... inikah yang dicari Emily ? inikah yang tak didapatinya dariku ? perlakuan lembut setiap kali bercinta dengannya membuatnya bosan padaku lalu memutuskan hubungan denganku begitu saja ?

Aku menutup pintu itu dengan pelan, lalu bergegas turun dari lantai atas dan keluar dari rumah Emily.
Dengan hati yang tak menentu aku menghenyakkan pantatku ke atas sadel sepeda motor.

“Baiklah, Emily...” Gumamku perlahan penuh rasa benci dan dendam. “Aku akan memberikan itu untukmu..., akan kulakukan untukmu....”

Dan ku hidupkan sepeda motorku pergi meluncur dengan kecepatan full...

Tunggulah Emily... Tunggulah....



~~~~*******~~~~~


Rasa rindu dan cinta dihatiku untuk Emily telah pudar. Tak kusangka Emily ternyata seperti itu. Dia yang selama ini kukenal sebagai wanita anggun dan penuh cinta, kini tak lebih dari seorang wanita liar yang rela disakiti dan dilecehkan oleh seorang pria yang baru dipacarinya kurang dari seminggu.

Tak sanggup aku menyaksikan pergumulan mereka pada malam itu. Rasa sakit dihati bercampur rasa jijik telah melenyapkan rasa rindu yang selama ini tak mau pergi dari hatiku.
Kini..., entah mengapa bayangan Emily yang selama ini selalu menari-nari indah di pelupuk mataku perlahan memudar dan berganti dengan bayangan menjijikkan.

Rasa jijik dan sakit dihatiku kini mulai berubah menjadi rasa dendam. Aku ingin memberikan apa yang diinginkan Emily. Rasa sakit dan derita. Itulah yang diinginkannya, pasti !. Jika tidak, mengapa dia berpindah hati ke seorang pria yang sedikitpun tak memperlakukannya dengan lembut ?
Dan ... oh...! tidak ! aku masih ingat. Wanita yang pernah kulihat menari bugil ditengah taman adalah Emily ! brengsek dan liar !
Sebegitu besarkah rasa cinta Emily pada pria itu ?

“Tunggu aku, Emily...! akan kuberi apa yang kau inginkan...!” Ucapku dengan geram.

Dengan memakai jaket kulit berwarna hitam, dipadu celana jeans hitam dan sepatu warna hitam, aku memacu sepeda motorku menuju rumah Emily. Malam ini aku akan memberikan sesuatu pada Emily. Sesuatu yang dia inginkan.

Suasana rumah Emily sepi saat aku tiba. Lampu dalam rumah terlihat masih menyala namun sepertinya tak ada aktivitas dalam rumah.
Aku menekan bell dengan lama. Aku akan melakukan banyak hal untuk Emily, itu yang sedang bercokol dalam benakku. Andai Emily yang muncul membukakan pintu untukku, maka aku akan menyeretnya keluar, lalu menggelandangnya ke jalanan dengan tubuh yang bugil sebagaimana yang pernah dilakukannya dengan rela untuk si pacar barunya itu.

 Tak ada gerak apa-apa dari dalam. Kutekan lagi, berulang kali hingga kemudian pintu terbuka. Lagi-lagi pembantu Emily yang membukakan pintu. Ada rasa kecewa di hatiku, tapi tak apalah. Mungkin sedikit lebih bagus jika aku akan melaksanakan rencanaku didalam kamarnya, dalam rumahnya sendiri.

“Oh, Den Jay. Masuk Den. Non Emily lagi dikamarnya tuh...”

Bibi tahu rupanya bahwa kedatanganku untuk menemui Emily, dan itu wajar karena tak mungkin dia berpikir bahwa aku akan menemui dia.
Tapi tidak untuk malam ini Bi, jika kau melakukan hal yang tak kuinginkan.
Senyum sinis dibibirku tak sempat diperhatikan bibi.

“Aku boleh langsung ke kamarnya, Bi ?” Tanyaku sekedar basa-basi sebenarnya.

“Silahkan Den. Bibi mau ke dapur dulu “ Ucap bibi berbalik hendak pergi meninggalkan aku yang masih berdiri di depan pintu.

“Bi, Sebentar Bi...” Aku mencegah bibi untuk pergi “Non Emily sendirian ?”

Bibi mengangguk. Aman, pikirku.

Setelah mengunci pintu rumah, akupun langsung menuju kamar Emily. Pintu kamarnya masih tidak dikunci. Aku medorong sedikit pintu kamar, mengintip kedalam. Tak ada siapa-siapa. Akupun masuk ke dalam. Terdengar bunyi cipratan air dilantai kamar mandi. Emily lagi mandi rupanya.
Dengan santai aku membuka jaket kulitku dan membuangnya begitu saja ke lantai. Sepatu aku lepas dan melemparnya begitu saja. Santai. Aku langsung melompat ke atas ranjang hingga menimbulkan suara berderit yang cukup keras.

Dengan agak sedikit berdebar aku menanti Emily keluar dari kamar mandi. Malam ini aku akan memberikan apa yang kau inginkan, Emily.

Suara cipratan air berhenti. Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka, dan Emily melangkah santai keluar kamar mandi dengan handuk dililitkan pada kepalanya. Selain handuk itu tak ada kain lain yang menutupi tubuhnya. Bugil.

Tubuhnya masih seksi seperti dulu. Payudaranya masih menggantung kencang didadanya dengan puting pink yang indah, meskipun kulihat disekujur tubuh itu ada guratan-guratan merah bekas cambukan, lalu vagina yang mulus terapit diantara pahanya. Indah benar...

Emily tersentak kaget saat menyadari ada seseorang yang tengah berbaring diatas ranjangnya.

“Waaaaaw ! Eh..Ka..Kau ??? “ Mata Emily melotot kaget melihatku.

“Apa kabar Emily sayang ?” Tanyaku dengan nada dingin. “Kangen padaku ?”

Emily refleks menutupi payudara dan vaginanya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya memerah disinari lampu kamar yang terang.

“Mau apa kau kesini, cepat keluaaaaar....!” Jerit Emily sambil berjongkok berusaha menutupi area terlarangnya. “Brengsek kau..! keluaaaaaarrrr...!”

Aku bangun lalu duduk ditepi ranjang. Dengan wajah sinis aku menatap Emily.

“Oh... begitu ya. Baiklah, aku akan keluar dari sini bahkan dari rumah ini. Tapi sebelumnya....”

Emily melotot tajam saat aku mulai membuka pakaianku satu persatu. Tubuhnya yang sedang berjongkok bugil perlahan beringsut sedikit demi sedikit ke arah sudut kamarnya. Emily menggigil menatapku. Andai hati ini belum dipenuhi dendam, mungkin aku akan memeluknya untuk menghilangkan rasa takut yang sedang dialaminya saat ini. Tapi tidak !

“Ini yang kau inginkan Emily ? ini kan ? “ Ucapku dengan suara serak. “Kenapa kau tutupi tubuhmu ? kau malu aku melihatnya ? bukankah aku sudah sering melihatnya bahkan menikmatinya ? kau lupa itu, Emily ? hahahahahahahaha “

Emily semakin menyudut. Aku mendekatinya lalu mencengkeram bahunya dengan kuat.

“Kau takut, Emily ?”

Emily mengangguk pelan dan gugup. Matanya mulai berkaca-kaca.

Kucengkeram tubuhnya lalu kuangkat berdiri. Tak ada rasa kasihan dihatiku sedikitpun, semua telah berubah menjadi rasa marah dan dendam.

“Jangan, Jay. Aku mohon jangan lakukan itu.... aku...aku....” Suara Emily terbata. Matanya memancarkan sinar permohonan.

“Fuck You Emily...., You’re ...JERK ! Air matamu menjijikkan.. Its .... disgusting !!! “ Ucapku lantang sambil mendorong tubuh Emily hingga terhempas ke atas kasur.

“Ku mohon.....,  Jay...., Kumohon.... “

Aku melangkah mendekati Emily. Tak kupedulikan kata-kata permohonannya. Kuambil handuk yang masih melilit di kepalanya, lalu kugulung dan kugunakan untuk menyumpal mulutnya. Kedua tangannya kuikat ke ranjang menggunakan kaus dan jaketku. Tersisa kedua kakinya yang meronta-ronta menendang kesana kemari membuat vaginanya yang terlihat memar kadang terbuka kadang menutup.

“Kau dengan tulus membiarkan pacar barumu yang kaya itu memperlakukanmu dengan kasar. Mengapa denganku kau malah menolak ?” Tanyaku dingin. “Oh..., karena dia kaya ? brengsek kau Emily ! Dasar pelacur murahan ! mata duitan !”

Emily melotot tajam padaku, rona kaget tersirat dari wajahnya. Mungkin dia kaget karena tak menyangka aku mengetahui semuanya.

“Tenanglah, Emily. Aku tak akan memperkosamu. Tak mungkin aku mengotori penisku dengan vagina busukmu yang telah kotor dengan mani pria lain...”

Kuambil sebuah botol lotion yang berada pada meja rias. Botol itu cukup besar sebesar lenganku. Setelah mengoleskan lotion ke botol, aku mendekati Emily yang masih meronta berusaha melepaskan diri.
Ku renggangkan kakinya dengan paksa, lalu kutindih dengan kakiku.
Vagina mulus Emily terpampang. Ku elus sebentar dan kugesek bagian klitnya.

“Tenang Emily sayang. Sebentar lagi kamu akan merasakan sesuatu yang nikmat. Enjoy this game, honey... ahahahahahaha...”

Tanpa menunggu vagina itu basah dan licin, aku langsung mencolokkan botol lotion ke belahan vaginanya. Botol lotion yang sudah ku olesi dengan lotion itu menancap masuk ke dalam vaginanya. Emily tersentak. Tubuhnya melengkung. punggungnya terangkat ke atas. Matanya mendelik.

“Nikmat kan sayang  ? “ ucapku sinis tanpa belas kasihan.

Botol lotion yang panjangnya lebih dari sejengkal itu menancap setengahnya dengan susah payah. Terasa mengganjal dan mentok. Aku tak peduli. Ku tekan lagi botol itu dengan keras.

“Aaaaaawhwhwhwhwhwh...” Andai mulut Emily tak disumpal dengan handuk, pasti suaranya terdengar melengking keras. Hanya matanya mendelik disertai kepalanya yang terangkat keatas. Air matanya meleleh menahan rasa sakit pada belahan vaginanya.

“Nikmatilah sayang.... enjoy this....arggghhhhh” Aku menggeram tanpa rasa kasihan.

“uhm...uhm...uhmmm...” Suara Emily terdengar kecil. Matanya mendelik. Sebuah isyarat bisa ku tangkap dari gerakan tubuhnya. Emily ingin aku melepaskan sumpalan pada mulutnya.

“Hehehehehe.., baiklah “

Sumpalan di mulut Emily ku lepaskan.

“Sss...saa..kkkiiitttt...Jay. aku mohon jangan.... lakukan ini... padaku... Jay...hik...hik...” Emily terisak. Kakinya yang tadi meronta telah berhenti. Rasa sakit itu mungkin telah membuatnya seperti itu.

“Ini belum berakhir, Emily. Masih ada permainan selanjutnya, sebentar lagi kita akan jalan-jalan, dengan tubuhmu yang bugil tentunya. Tapi untuk sekarang, nikmatilah dulu yang ini sayang...”

“Kumohon Jay...”

“Diam !!! “ Bentakku keras. Tak peduli hal itu akan memancing kehadiran bibi. “Kau masih ingat berapa kali aku memohon padamu dan berapa kali kau menolaknya, Emily ?”

Emily kembali terisak. Botol lotion itu masih menancap divaginanya.

“Sakit, Jay. Vaginaku sakit, Jay...” suara memelas dari mulut Emily tak sedikitpun menggugah hatiku.

“Kau ingin aku memasukkannya lebih dalam lagi, Emily ? Baiklah....”

“Tidak, Jay... Jangan...! Aaaaaaawwwwwhhhhh.....!!! “ jeritan Emily melengking tajam saat botol lotion itu ku tekan dengan keras ke dalam vaginanya. Tubuhnya bergetar, punggungnya kembali terangkat ke atas. Botol itu kucabut dengan tiba-tiba, membuat tubuh Emily kembali terhentak.
Ada bercak darah di badan botol itu. Aku tak peduli.
Ku melangkah ke arah meja riasnya, kubuka laci, mencari-cari sesuatu yang boleh aku gunakan untuk menambah kenikmatan yang akan kuberikan pada Emily. Sebuah lilin berwarna merah kutemukan.

“Boleh juga nih. Bagus untuk vagina kotormu...” Ucapku sinis sambil memperlihatkan batangan lilin pada Emily.
Ku ambil korek api dari dalam saku celanaku, lalu kunyalakan lilin itu. Emily hanya memandangku dengan wajah sayu dan lemah. Aku tak peduli.
Kudekati lagi Emily, kurenggangkan kembali kakinya yang sepertinya tak lagi kuasa bergerak, lalu ku kuak dengan lebar belahan vaginanya dengan dua jariku, lelehan cairan lilin panas ku arahkan ke liang vaginanya.

cresssshhhhhh

Lelehan lilin panas masuk ke dalam belahan vagina yang terkuak lebar itu. Seketika kaki hingga paha Emily terangkat.

“Ughhh...., Jhaaiiy..” Rintih Emily diiringi gelak tawaku.

“Kau suka itu sayang ? Nikmat kan ?” Tanyaku dengan nada mengejek.

Emily memejamkan mata sayunya. Bibirnya yang pucat mengatup dengan rapat.

“Uh..., Emily. Tahan dikit ya ? ini enak kok...” Ucapku sambil mengarahkan ujung lilin yang sedang menyala ke bibir vaginanya. Aroma kulit yang terbakar menerpa hidungku. Aku masih tetap tak peduli pada reaksi tubuh Emily yang bergetar lemah menahan rasa perih. Dengan satu hentakan yang kuat aku langsung menusukkan batangan lilin kedalam vaginanya, hingga lilin itu masuk dua pertiga bagian.

“Aghhhh..., ugghhh..., “ Suara rintihan Emily kembali terdengar. Pelan.

Aku masih belum puas. Batangan lilin yang belum masuk semuanya itu aku tekan menggunakan botol lotion. Botol itu pun ikut masuk mendorong masuk lilin ke dalam liang vagina Emily.

“Arrrggggghhhhh....., Jhaaaaaaaaaaiiiiyyyyy....” Tubuh Emily menggelepar kesakitan. Jeritannya terdengar kencang seiring darah segar yang menyembur dengan kencang keluar dari belahan vaginanya.


Tok...Tok...Tok...

Suara ketukan pintu membuatku menghentikan aksiku lalu turun dan membukakan pintu. Nampak bibi sedang berdiri depan pintu. Kubiarkan saja bibi masuk menghambur ke dalam kamar, dan lebih cuek lagi aku mendengar suara jeritan bibi yang melihat keadaan Emily.

“Ya Tuhan..., kenapa ini, Non ?” Jerit bibi.

Emily diam saja. Tubuhnya yang mengelepar seakan tak mempedulikan bibi yang segera memeluknya disertai isakan tangis. Darah segar meleleh keluar dari vagina Emily. Tubuhnya terlentang tak berdaya.

“Kau apakan Non Emily, hah ??!!” Bentak bibi sesaat kemudian. Matanya memancarkan amarah.

“Aku memberikan apa yang dia mau...,  Bibi mau juga ?” Aku malah mengucapkan kalimat yang bikin bibi tambah marah.

“Ada apa denganmu hah ?!”

Aku hanya tersenyum sinis menanggapi ucapan bibi. Kulihat Emily diam saja. Matanya terpejam dengan bibir yang melengkung menahan sakit.

“Ughhh...” Erangan kesakitan terengar lemah dari mulut Emily, lalu tubuhnyapun berhenti menggelepar seiring dengan erangannya yang terhenti.

Bibi yang sedang menatapku dengan penuh amarah segera berbalik dan menghambur ke atas tubuh Emily.

“Non... Bangun, Non... hik..hik..”

Tak ada gerakan apapun di tubuh Emily. Diam, kaku, tak bergerak.

“Noooonnnn...!!!, bangun non... hik..hik...” Suara Bibi melengking nyaring. Digoyang-goyangkannya tubuh Emily. Kaku dan tak ada respon sama sekali.

Sejenak aku terpana. Kuperhatikan keadaan Emily saat itu. Bibirnya pucat, matanya terpejam. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa panik. Bibi yang sedang memeluk tubuh Emily kusingkirkan dengan satu hentakan kuat. Aku memanggil-manggil nama Emily, tak ada jawaban.

“Emily...? Emily...? Emilyyyyyyy....” Jeritku panik.

Ada apa denganku ? Iblis dari mana yang telah merasuk dalam jiwaku sehingga aku tega menyakiti gadis yang selama ini aku cintai ? Benar, dia telah menyakitiku..., benar dia telah mengkhianatiku, tapi apa mesti sekejam ini perlakuanku padanya ?

“Kau...Kau... Iblis Kau... Biadaaaaaaab !!!!” Jerit Bibi dengan mata melotot dan tangannya terkepal mengacung ke arahku.

Aku tak mempedulikan bibi. Aku panik. Aku mesti segera menolong Emly... ya, menolongnya dari  akibat perbuatan bodohku sebelum semuanya terlambat.



~~~~*******~~~~~



Aku masih sendiri, duduk dibangku taman dengan pandangan kosong. 10 Tahun sudah kepergian Emily. Tepatnya tanggal 13 Februari 2005. Dan hari ini, hari kepergian Emily dari sisiku, 13 Februari 2015. Tak ada lagi Emily, dia benar-benar telah pergi membawa derita yang teramat sangat karena kebodohanku.

Emily telah pergi jauh ke tempat yang tak terjangkau, meninggalkan pesan tegas tentang rasa cinta yang dimilikinya untukku.
10 Tahun lalu dia meninggalkan aku, meninggalkan dunia ini setelah kuperlakukan dengan teramat kejam.

Aku baru tahu alasannya kenapa Emily memutuskan hubungan denganku dari cerita Bibi. Menurut bibi, Emily melakukan semuanya karena terpaksa. Ayah Emily terlilit hutang pada Robert, seorang pengusaha muda yang dulu kuanggap pacar baru Emily, ternyata tidak.
Ayah Emily mendekam di balik jeruji besi karena tak sanggup membayar hutang itu meskipun telah menjual seluruh aset perusahaannya. Hanya ada satu cara yang bisa mengeluarkan Ayah Emily dari dalam penjara. Emily mesti berkorban. Dia harus mau melayani kebutuhan sex Robert yang seorang sadismine. Sayang sekali, sebelum semuanya selesai, aku telah merusak semuanya. Aku telah membuat Emily gagal menolong ayahnya karena kebodohanku. Sesungguhnya setelah perlakuanku padanya itu, apa bedanya aku dengan Robert ?

Aku telah menerima balasan atas kebodohanku. Aku mendekam dalam sel tahanan selama 5 Tahun. Aku menjalaninya dengan ikhlas, sebagai hukuman atas kebodohanku.
Selama lima tahun kemudian pula aku menyesalinya. Tak akan pernah habis penyesalan ini dalam hatiku. Dan setiap tanggal 13 Februari aku duduk di bangku taman ini, entah untuk apa dan menunggu siapa, karena aku tahu dan aku sadari bahwa tak mungkin lagi ada Emily yang akan menemuiku disini, di bangku taman yang sering kami jadikan tempat memadu kasih.

13 Februari, ini hari kepergian Emily.
Dibangku taman ini, sebuah sandiwara kekerasan kembali berputar dalam kenanganku. Aku telah membuat Cinta Sejatiku pergi menjauh dariku. Pergi kesuatu tempat yang jauh dan tak tergapai.

Aku tak pernah menghitung hari, aku tahu hari ini tanggal 13 Februari karena setiap tanggal ini pasti banyak pasangan muda membicarakan tentang sebuah hari, besok adalah hari dimana mereka saling mengungkapkan rasa kasih. Hari yang mereka sebut dengan Valentine.

“Ughhh...hufffhhh..”

Lara hatiku semakin dalam setiap kali sang surya memasuki peraduannya, digantikan sang Dewi Malam yang memancarkan cahaya terang menjelang purnama, lalu esok harinya Sang Raja Siang kembali keluar dengan cahaya terangnya di hari Kasih Sayang, 14 Februari. Hari yang semakin meluruhkan airmataku.

Semestiinya kau ada disini
Menemaniku menyambut hari kasih sayang ini...
Ah...
Sungguh aku tak mengerti,
Aku tak faham apa itu Valentine..
Kata orang itu hari Kasih Sayang...

Tapi itu bukan untukku kan ?

Emily....
Tak ada Valentine untukku..
Karena setiap hari, setiap saat...
Valentine itu ada bersamaku...

Seluruh hariku adalah hari Valentine...
Aku selalu mengasihimu, meskipun kata orang itu terlambat...
Tapi biarlah.
Aku akan terus mengasihimu
Selalu merindukanmu..