Selasa, 17 Maret 2015

ANAK NAKAL Season 1 part 5

TETANGGAKU DIAN

Aku mulai membangun rumah sendiri, terlebih ketika Nur melahirkan anak pertama kami yang imut dan lucu. Berjenis kelamin perempuan. Anaknya sangat montok. Kami semua bahagia dan usia kehamilan Kak Vidia pun udah masuk ke empat bulan, mulai kelihatan perutnya membuncit.

Aku bangun rumah sendiri untuk Kak Vidia, juga Nur. Walaupun tak begitu mewah seperti rumah kami sekarang, tapi cukup untuk membangun rumah tangga di sini. Posisinya juga tidak terlalu jauh, masih satu kota walaupun beda perumahan. Identitasku sekarang kuubah, agar hubungan incest kami tak ketahuan. Kami membayar beberapa orang pengurus catatan sipil untuk bisa memalsukan identitasku. Dan sekarang aku pun punya tiga istri. Yang mana aku harus adil dalam membagi jatah.

Aku benar-benar ingin membahagiakan mereka semua. Terutama bunda. Jatah bunda sekarang lebih banyak. Ini adalah inisiatif dari Nuraini dan kak Vidia. Mereka sepakat untuk melakukannya. Mereka malah yang menyemangati bunda agar bisa menyusul mereka.

"Rumah jadi sepi ya Don, semenjak kedua saudarimu ke rumah mereka masing-masing," kata bunda.

"Ini kan juga untuk membahagiakan bunda juga, kalau semuanya di sini bingung ngurus cucu-cucunya bunda," kataku.

Bunda memakai kerudung lebarnya dan ia sedang duduk di sofa ruang tamu sambil melihat halaman dari jendela. Walaupun sekarang usianya sudah kepala 4, tapi tubuhnya masih sintal. Masih bagus, beliau sering melakukan perawatan tubuh, aku bisa melihatnya sendiri. Ini adalah hari pertamaku membagi jatah ke bunda. Karena aku dapat jatah 4 hari di rumah bunda.

"Masih belum ada kabar mengenai mbak Juni, Don?" tanya bunda.

"Belum ada, Doni sudah cari kemana-mana tapi tidak ketemu. Rumahnya yang dulu pun sudah sepi tak ada barang-barang apapun. Dia seperti hilang ditelan bumi," jawabku. "Aku menyesal sekali sepertinya."

"Kalau dihitung berarti usia kehamilannya hampir sama seperti Vidia," kata bunda. "Lebih muda dikit."

"Iya," kataku singkat.

"Tapi jangan khawatir. Kalau ia mencintaimu, ia pasti akan mencarimu, atau bahkan ia tak akan bisa melupakanmu. Ia cuma belum siap menerima keadaan ini. Kau sendiri tahu kan? Ia masih mencintaimu bunda yakin karena bunda ini juga wanita," kata bunda menghiburku. "Bunda yakin ketika nanti anaknya lahir engkau pasti akan diberi tahu, bahkan mungkin bunda yakin ia pasti akan menerimamu apa adanya."

"Bagaimana bunda bisa yakin?" tanyaku.

"Sebab, Juni itu sudah suka kepadamu sejak lama. Bunda tahu itu, saat melihatmu ia sering melamun dan senyum-senyum sendiri. Bahkan ketika kalian berhubungan wajahnya lebih sumringah daripada sebelumnya. Ia memang janda muda, tapi ia masih memiliki cinta. Dan ia baru saja menemukan cinta sejatinya," kata bunda. "Sebagaimana bunda juga masih mencintai ayahmu sampai sekarang walaupun sudah ditinggalkan. Dan sekarang bunda melihat sosok ayahmu pada dirimu. Bunda makin cinta kepadamu."

Aku menghampiri bunda dan duduk di sebelahnya. Tanpa dikomando aku mencium bibirnya.

"Bunda tahu, apapun yang bunda lakukan, tubuh bunda tetap menarik bagi Doni," kataku.

"Kamu sudah kepingin?" tanyanya.

"Kalau melihat bunda rasanya kepingin terus," jawabku.

Kami berpanggutan lagi dengan hot. Lidah kami menari-nari saling menghisap. Aku membuka kancing gamisnya, kulepas gamis itu, branya juga kulepas. Bunda menarik T-Shirt-ku dan menurunkan celana trainingku.

"Isep dong bunda," kataku.

Aku berdiri di hadapannya. Bunda duduk di sofa ia majukan wajahnya dan melahap penisku. Ia mengulumnya dengan ganas. Ia jilati ujungnya, lalu ia kulum lagi, tangan kirinya aktif meremas-remas testisku. Tangan kanannya mengusap-usap perutku, lalu terkadang memijat-mijat batang penisku, mengurutnya dan mengocoknya lembut.

"Ohhh...bunda....hhmmhhh...,"

Bunda masih memakai kerudungnya. Beliau agak aneh dengan fantasiku yang bercinta dengannya tapi memakai kerudung. Tapi ia sama sekali tak masalah dengan itu. Berkali-kali spermaku harus aku keluarkan di wajahnya di saat oral mengenai kerudung hitamnya. Ia menganggap fantasi sex tiap lelaki berbeda. Ia pernah bercerita kalau fantasi sex ayah dulu adalah ngentotin bunda di kebun atau di alam terbuka. Bahkan katanya hamilnya anak pertama dulu, karena mereka berhubungan intim di pegunungan. Pantas saja Kak Vidia suka banget hiking.

Sedangkan aku? Bunda menceritakan sesuatu yang tidak pernah diceritakan kepada Kak Vidia maupun Nuraini. Yaitu ayah pernah menyukai keponakannya sendiri. Dan ia jujur kepada bunda. Karena itulah bunda bersedih. Setiap bercinta selalu yang ada pada bayangan ayah adalah keponakannya itu yang bernama Laura. Aku pernah bertemu sepupuku itu tapi sudah lama, sekarang ia punya anak bernama Anisa. Dan boleh dibilang ayah pernah sekali bercinta dengan keponakannya itu, tapi tidak sampai hamil.

Bunda terpukul dengan itu, namun ketika melihat bunda hamil diriku, akhirnya ayah pun mengakui dirinya salah dan akhirnya mulai menyayangiku seperti anaknya. Mungkin karena itulah sifatku seperti ini. Dan secara tak disangka aku sangat mirip ayahku.

Hari ini aku tak mau menyia-nyiakan spermaku, aku ingin semua spermaku tumpah di rahimnya. Kita punya banyak waktu hari ini. Aku ingin mengentot bunda sampe ngilu penisku. Maka dari itulah, sebentar saja bundaku mengoralku. Aku sekarang sudah menciumi seluruh tubuhnya. Kujilati dadanya, kuhisap kuat-kuat putingnya hingga mengeras. Bunda mengeluh. Ku hisap pula klitorisnya kumainkan dan kugigit gemas. Bunda makin tergelepar-gelepar seperti ular. Berkali-kali ia berusaha mendorongku karena rangsanganku telalu membuatnya geli. Dan bunda pun orgasme hingga menjambak rambutku kuat-kuat. Nyaris itu rambutku dicabut dari tempatnya.

"Don...kamu bener-bener lain hari ini, rasanya nafsuin banget," katanya.

Aku tersenyum. Aku kemudian melumat bibirnya. Punyaku pun langsung kumasukkan sambil kutekan. Bunda kaget dan tersentak. Pinggulnya terangkat. Saat itulah aku menggoyan tubuhnya, ku benamkan sedalam-dalamnya otongku hingga mentok. Bunda mengeluh lagi. Kami berpelukan erat, kerudungnya masih menempel dan aku menghisap lidahnya. Ia mencakari punggungku ketika kenikmatan demi kenikmatan menjalar di selakangan kami.

"Don..enak...bunda keenakan...terusss...ssshhh...aahhh...hhmmmhh," katanya.

Aku konsentrasi di bawah sana. Aku terus mengobok-obok vaginanya hingga dia kayaknya hampir orgasme lagi, dahinya mengerut, alisnya menyatu dan ia menatap mataku. Mulutnya membentuk huruf O.

"Bunda...ohhh mau keluar....," katanya.

"Bunda keluar? keluar aja bunda," kataku. "Papah masih belum."

Bunda pun mengapit pinggangku erat-erat. Pantatnya bergetar, kuku-kukunya menggaruk punggungku, ia memelukku erat seakan tak ingin melepaskanku. Kutunggu hingga  bunda merasakan rilex sejenak dan pegangannya melemah.

Kubalikkan tubuhnya, kini ia menungging di sofa. Aku kemudian menghujamkan penisku ke vaginanya dari belakang. Bunda bertumpu pada pinggiran sofa. Ia masih mengeluh ah dan uh...saat kusodok ia mengimbangiku dengan memaju mundurkan pantatnya. Rongga kemaluannya menggesek setiap syaraf kemaluanku, membuatku terbuai oleh ekstasi persetubuhan yang panas. Pantatnya yang montok memberikan sensasi tersendiri kepada area pribadiku. Testisku berkali-kali menghantam bibir vaginanya karena aku menyodoknya sampai dalam. Yang aku suka dari ketiga keluargaku adalah vagina mereka benar-benar bisa meremas penisku. Bunda juga demikian. Aku meremas-remas toketnya ketika menusuknya. Sesekali ku
remas juga bongkahan pantatnya yang bahenol itu. Puas dengan doggy style, aku lalu berbaring.

Kami berhadapan. Pahanya kuangkat, penisku masuk lagi. Vagina bunda udah sangat becek. Dada kami berhimpitan, terasa debaran jantung kami. Bunda sudah lelah, ia hanya bisa menerima panggutanku saja dan mendesis pelan. Aku pelan-pelan menggesek kemaluanku keluar masuk. Sambil aku mantapkan tusukanku, rasanya kepala penisku geli sekali.

"Don, bunda rasanya ngilu banget, belum keluar juga?" tanya bunda.

"Ini mau keluar bunda. Peluklah Doni. Peluk yang erat bunda," kataku.

"Ohh...papah, keluarkan pejuh papa yang banyak yah buahin bunda," katanya.

Pantatku kugoyangkan agak cepat, kepala penisku sudah gatal ingin menyemburkan sperma. Makin cepat-makin cepat, bunda pun memelukku erat sekali, dan kami pun orgasme bersamaan lagi. Bunda melingkarkan kakinya ke pinggulku, aku menghujam penisku dalam-dalam sampai mentok, dan semburan demi semburan cairan kental membasahi rahimnya.

"Ohh...bunda udah lama tidak merasakan ini. Enak....enak banget...," katanya.

Orgasme itu serasa sangat lama, penisku benar-benar ngilu. Kubiarkan penisku di dalam kemaluannya, hingga mengecil sendiri. Kami pun tertidur di sofa. Kelelahan. Senggama yang hebat. Hari itu kami tak pernah habiskan waktu yang sia-sia. Bercinta, bercinta dan bercinta. Berbagai gaya kami coba. Kami istirahat hanya untuk makan, tidur dan mandi. Kemudian bercinta lagi. Empat hari yang tidak sia-sia. Hampir tiap hari kami tidak pakai baju. Dan hampir tiap waktu kami hanya bicara dengan sentuhan, rayuan dan cumbuan.

****

Keesokan harinya aku ke tempat Nur. Ia sangat kangen denganku. Ia juga senang dengan buah hati kami dan setiap hari bermain dengannya. Aku menyewa seorang pembantu yang membantunya di rumah. Kebetulan ia juga adalah tetanggaku sendiri namanya Dian.

Dian ini orangnya imut. Rambutnya seleher. Bibirnya tipis. Suaminya bekerja sebagai buruh pabrik dan ia ini pengantin baru. Entah bagaimana cepat sekali ia akrab dengan Nur. Bahkan sering aku dengar mereka ketawa ketiwi sendiri kalau sedang ngerumpi. Pekerjaan Dian juga telaten. Semua pekerjaannya rapi dan bersih. Semuanya OK, tapi ada satu yang tidak. Apa itu? Pakaiannya itu lho. Kalau bekerja di rumah, ia selalu pakai baju lengan pendek dengan ketiaknya yang bisa dilihat. Bagian atasnya sangat longgar sehingga kalau ia membungkuk aku bisa melihat toketnya yang menggantung dan kulitnya yang putih. Ditambah ia pakai hotpants. Dan ia tidak risih.

Bisa jadi pakaiannya itu agar ia mudah untuk bekerja. Mungkin Dian tidak tahu kalau aku selalu melihatnya ketika bekerja, dan pelampiasanku, tentu saja ke Nur. Nur hanya mengira aku memang lagi kepengen karena lama tidak menyentuhnya tapi sebenarnya bukan itu sih.

Satu atau dua kali kuanggap wajar, tapi karena sudah berkali-kali akhirnya aku kepingin juga ngentotin dia. Tapi bagaimana caranya? Aku sudah membuang kloroformku dulu. Dan tak mungkin pakai cara itu. Dan sebenarnya peristiwa ini kebetulan saja sih. Kebetulan inilah yang membuat Dian akhirnya takluk juga.

Suami Dian yang buruh pabrik itu sering pergi jam 5 sore pulang jam 5 pagi. Jadi malam hari ia sering tidak di rumah. Pagi hari sampai sore selalu di rumah, sedangkan pagi sampai sore Dian bekerja di rumah kami. Karena frekuensi jarang ketemu inilah yang membuat kebutuhan Dian akan urusan ranjang kurang. Mereka jarang main, kecuali di hari minggu. Ini kuketahui nanti.

Di RT kami kebetulan pak RT-nya mengadakan inisiatif untuk mengadakan ronda. Ronda ini selalu digilir oleh bapak-bapak kampung. Namun sekali pun tidak ada jadwal boleh koq siapa saja ikutan. Pos rondanya agak jauh sih dari rumah kami, ada di ujung jalan.

"Mah, papah mau ikutan ronda," kataku.

"Lho, emang jadwalnya?" tanyanya.

"Hehehe, nggak sih kebetulan kepengen nonton bola bareng di pos ronda. Jadi ya sekalian saja ikutan ama bapak-bapak di sini biar akrab," alasanku.

Aku lalu melihat anakku yang sedang lucu-lucunya tampak bicara sendiri. Aku lalu mengajaknya bicara sampai ketawa. Nur tampak senang sekali melihat polah tingkahku yang bercanda dengan anakku.

"Udah ah pah, ntar malah ndak tidur-tidur dibecandain melulu," kata Nur.

"Papah gemes banget ama pipinya ini lho," aku lalu mencium anakku. "Apa sih sayang? Ikut papah yuk, nonton bola di pos kamling. Hehehe, ketawa lagi."

Nur lalu memelukku dan mencium pipiku. "Udah, berangkat sana!" Ia mengusap-usap pipiku.

"Agak nanti aja, masih jam 9 koq," kataku.

"Kalau ndak berangkat sekarang ntar malah ndak tidur-tidur Si Laila," kata Nur sedikit ngambek. "Dari tadi siang dibecandain melulu soalnya."

Aku lalu bangkit dan mencium kening Nur. "Ya udah, berangkat dulu." Aku mengusap kepalanya.

"Pah, mamah cinta kamu," kata Nur.

"Papah juga koq," kami berpisah dengan berciuman bibir untuk sepuluh detik. Aku selalu melakukannya kalau ingin pergi keluar rumah. Hal itu menambah kemesraan kami. Dan pernah sih hal ini ketahuan ama Dian. Dan ia buru-buru menyingkir.

Aku pun pergi keluar rumah. Di pos kamling aku bertemu dengan beberapa orang bapak-bapak yang juga tidak ada jadwal ronda tapi ikutan ronda. Di perumahan ini memang belum ada satpamnya, makanya kami mengambil inisiatif seperti ini. Pertandingan bolanya sih jam 2 malam. Dan kami sudah mengobrol ngalor ngidul sampai jam 12. Entah kenapa waktu itu udara dingin banget, sehingga aku lupa bawa sarung. Mau pulang dulu ambil sarung.

"Awas pak Doni, nanti kalau udah pulang takutnya ndak bisa balik lagi. Hawanya dingin banget," kata salah satu bapak-bapak.

"Kayaknya sih begitu," candaku. Kemudian disambung ketawa bapak-bapak yang lain.

"Maklum pak, penganten baru ya seperti itu," sahut yang lain.

Aku pun segera menuju rumahku. Perumahan ini benar-benar sepi kalau malam. Ndak ada satu pun penjual makanan yang lewat. Aku kemudian sudah sampai di rumah. Namun tampak tetanggaku Dian sedang ada di luar rumah membawa senter dan menerangi sekering listriknya di luar rumah. Lampu rumahnya mati.

"Kenapa mbak?" tanyaku.

"Ini mas, listriknya mati, bingung nyalainnya gimana," jawabnya. Ini mungkin kesempatannya. Pikirku.

Agak tak jelas sih ia pakai baju apa, karena gelap.

"Boleh saya bantu?" tanyaku.

Ia diam sejenak. Mungkin berpikir panjang, karena aku bukan suaminya. Tapi kemudian ia mempersilakan. Aku lalu meminta gunting dan obeng. Kulihat kabel sekringnya putus. Kusuruh untuk mencabut seluruh peralatan listrik kemudian aku mengambil kabel dan membetulkan listriknya. Setelah sekeringnya aku betulkan di bawah sorot lampu senternya dan terus terang bau parfumnya sangat menggoda, akhirnya listriknya bisa nyala lagi. Aku memperbaiki sekering di dalam rumahnya, dan tentu saja karena hawanya dingin pintu tertutup.

"Makasih ya mas, malah merepotkan," katanya.

"Oh tidak masalah," jawabku. Dan saat itulah aku terkejut karena tiba-tiba tvnya nyala dan kulihat tampak ada adegan bokep. Rupanya ia lupa mencabut saklar tv dan DVD-nya. Walaupun tidak bersuara otomatis kami berdua tahulah film apa itu yang sedang diputar. Wajah Dian memerah, ditambah lagi di meja aku menemukan sesuatu yang mirip penis. Dildo!?

Dian yang memakai sarung itu buru-buru mematikan dan mengambil dildonya lalu masuk ke kamar. Aku tersenyum aja. Barangkali ia sedang mastrubasi sambil nonton film itu kemudian lampunya mati.

Tak berapa lama kemudian ia keluar kamarnya. Wajahnya memerah, ia sepertinya malu sekali. "Yang tadi maaf ya mas."

"Tidak mengapa aku tahu koq kebutuhan wanita itu seperti apa," kataku.

"Maklum, Mas Joko sering keluar malam, jadinya ya ini satu-satunya pelampiasan kalau sedang sendiri," katanya sambil sedikit tertawa kecil.

"Tadi sudah tuntas belum?" candaku.

Dian bingung menjawab, lalu ia menggeleng.

"Trus kalau belum apa yang dilakukan habis ini? Melanjutkan?" tanyaku.

Ia mengangguk, sebentar kemudian menggeleng, sebentar mengangguk lagi. Ini kesempatan bagiku, setan sudah menguasai otakku. Aku lalu mendekat dan memeluknya, ia kaget dan menatap wajahku.

"Mas, jangan mas. Bagaimana dengan mbak Nur?" tanyanya.

"Kamu mau dituntaskan tidak?" tanyaku. "Ndak enak kalau main sendiri."

"Tapi mas, a..aa..ku...," ia kaget ketika aku mencium keningnya. Kemudian pipi, hidung dan bibirnya. Kami berciuman hot. Awalnya ia diam, lama kelamaan ia memanggut juga. Ia menghisap mulutku dan ia sangat panas mainnya. Ia sangat ahli dalam frenchkiss. Aku pun meraba dadanya yang ternyata tak memakai bra, aku bisa merasakan putingnya mengeras.

Sarungnya aku lepaskan hingga jatuh ke lantai. Ia pun menarik kaosku ke atas dan menciumi dadaku yang bidang. Ia mengusap-usap dadaku dan menciumi dadaku hingga ke perut, lalu ia buka celanaku. Burungku langsung melompat keluar saat ia menurunkan celana dan CD-ku. Ia berhenti sejenak.

"Pantas mbak Nur suka sama mas, ininya gedhe banget, aku sudah horni banget mas, maaf ya mbak Nur," kata Dian. Ia pun melahap penisku, dikulum dan disedot. Dimainkan kepala penisku. Mendapat perlakuan ini aku pun memegangi kepalanya dan memaju mundurkan penisku. Dian sangat ahli sekali.

Tidak butuh waktu lama untukku bisa menarik bajunya ke atas, ia sekarang sudah tak memakai baju lagi. kepalanya maju mundur sambil melirik ke arahku yang mengamatinya. Ia bahkan terkadang melakukan deep throat. Yang membuatku makin melayang. Setelah aku beri kode ia untuk berbaring di sofa ia pun menghentikan oralnya. Ia menarikku kemudian terjadilah pergumulan di sofa. Aku memastikan kalau dadanya ukurannya hampir sama seperti Nur, tapi lebih kecil sedikit dengan puting yang sudah mengeras seperti kacang berwarna coklat.

"Ohh...mas...puasin aku mas," katanya.

Tanpa dikomando aku sudah menyusu kepadanya. Menghisap dan memainkan puting susunya sambil meremasnya bergantian. Dian menggelinjang dan memeluk leherku. Tanganku yang lain sudah mengobok-obok vaginanya. Kuusap-usap bibir memeknya, lalu jari tanganku leluasa masuk ke dalam lubangnya yang udah basah, sisa-sia mastrubasinya tadi.

"Ohhh...mass...baru kali ini ada jemari lelaki lain masuk di sana," katanya.

Aku gesek-gesek sambil kumainkan buah dadanya yang berwarna putih itu. Kemudian aku naik ke lehernya, lalu menyusuri pipi dan kugigiti telinganya. Hal itu membuatnya makin terangsang ia pun mengigiti telingaku. Aku lalu ke bawah, dan kuciumi perutnya, selakangannya, pahanya, kemudian kulahap juga itu bibir memeknya yang berwarna pink kecoklatan.

"Ahhkk...enak mas, enak...ahhkk terus..!!" katanya. Kuhisap dan kuemuti bibir memeknya, lalu lidahku menyapu sampai ke ujungnya dan kutemukan daging menonjol. Klitorisnya itu bisa kurasakan dengan lidahku, ujung lidahku merasakan asinnya lendir kewanitaannya yang terus memancar setiap kali aku mengusap-usap klitorisnya. Pantat Dian terangkat dan ia terus-menerus mendesis.

"Udah mas, udah...Dian mau keluar...mau keluar...jangan digituin...geli...geli mas...udahh...aduuuuhh....pipis deh...mas nakaaal..memek dian basah deh....aaaahkk!" Dian menggelinjang hebat dan mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Aku biarkan ia sejenak.

Dian meringkuk seperti bayi. Sesekali pantatnya maju mundur sendiri. Ia seperti ulat kesetrum. Matanya memejam erat, bibir bawahnya digigit dan tangannya memeluk lututnya. Aku siapkan senjataku sekarang.

Ia tak kuijinkan berlama-lama menikmati orgasmenya. Aku lalu mengatur posisi. Lututnya aku angkat sampai ke pundaknya, buah dadanya aku atur hingga ia seperti menjepit dadanya sendiri. Dengan begitu memeknya terlihat jelas. Aku bertumpu pada lututku, kemudian penisku cukup aku tekan sedikit dan masuk begitu saja. Tapi...ada sesuatu yang aneh. Di dalam sana penisku seperti merobek sesuatu. BRETT...!!

Mata Dian terbelalak. Ia menatapku agak berkaca-kaca, mulutnya ternganga. Ia melingkarkan tangannya ke leherku.

"Mass...perih...," katanya.

"Lho, kamu masih gadis?" tanyaku.

"Tidaklah mas, sudah dipake koq," jawabku.

"Lha trus ini?" tanyaku.

"Aku tidak tahu, mas Joko penisnya kecil, ndak sampe penuh masuknya. Aku juga kaget lihat penis mas segitu, ndak tau tapi aku kerasa perih," jawabnya.

Mungkinkah penis suaminya ndak sampai merobek selaput daranya? Kalau iya, ini rejeki yang langka. Aku lalu menggoyangnya pelan-pelan. Tarik, tekan, tarik, tekan. Biar ia tak terlalu sakit dulu.

"Yang cepat aja mas, ndak apa-apa!" kata Dian.

Aku pun mengikutinya. Kupompa agak cepat. Dian pun bereaksi. Ia mengeluh, menggelinjang. Matanya terpejam, bibirnya menggairahkan sekali, berkali-kali aku menghisapnya. Wajahnya meringis seperti kesakitan padahal ia terasa nikmat. Memeknya benar-benar meremas-remasku dan menyedot-nyedot seperti vakum. Sepertinya Dian ini benar-benar masih gadis, aku tak peduli. Hal ini membuatku makin kepingin cepat keluar saja.

"Dian...keluar nih," kataku.

"He-eh mas, keluarin aja...barengan yuk," katanya.

"Ohh...Dian...kamu sexy sekali, mas kepengen ngentotin kamu terus...keluar..kkellluuuaaarr!!" aku menjerit.

Dian pun menjerit, "Maasss....aaahhkk!"

Spermaku pun tumpah di rahimnya. Ia memelukku erat untuk beberapa saat hingga kemudian ia lemas. Aku lalu menarik penisku. Saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh. Cairan sperma yang meleleh dari lubang memeknya bercampur bercak darah. Ia beneran masih gadis ternyata. Lha trus? Sebesar apa sih penis suaminya sampai ndak bisa menjebol milik istrinya sendiri??

Untuk beberapa saat kami terdiam. Dian sedang menikmati multiple orgasmenya. Tampak wajah kepuasan terpancar dari wajahnya.

"Mas, makasih ya, udah nemenin aku malam ini," katanya. Ia pun kemudian bangkit dan melihat bercak darah bercampur sperma di sofanya. Diambilnya tissue lalu dibersihkannya noda itu.

"Koq bisa kamu masih perawan?" tanyaku.

Ia kemudian memelukku sambil bercerita. Ceritanya sih ia dan suaminya sudah pacaran lama. Dan setelah menikah ia baru tahu kalau penis suaminya kecil. Meskipun kecil, mereka pun bisa koq terpuasi di ranjang. Malam pengantin mereka lewati seperti layaknya suami istri. Memang awalnya sakit banget ketika penis suaminya masuk. Tapi tidak seperti teman-teman wanitanya yang bercerita kalau malam pengantin itu sakit ketika selaput daranya robek. Namun robeknya seperti apa Dian tidak tahu. Yang jelas awal dimasuki memang perih, setelah itu ia terbiasa. Namun entah kenapa ketika baru saja melakukan denganku rasanya perih banget sampai merasa ada yang robek. Aku menduga suaminya memang tidak pernah merobek selaput daranya. Ketika ia memberitahu ukuran penis suaminya aku pun terkejut. Sangat kecil, seperti penisnya anak kecil.

Dian memang heran karena ketika ia lihat bokep sendiri bule-bule punya penis besar. Awalnya ia tak protes, karena mungkin rata-rata orang Indonesia sama bule berbeda. Tapi ia baru sadar ketika melihat penisku ternyata punya suaminya jauh lebih kecil. Ia pun bercerita karena suaminya jarang dirumah ia seperti jablay.

"Oh begitu ceritanya, kenapa ndak dibawa ke dokter aja tuh, biar penis suamimu gedhe?" tanyaku.

"Orangnya kolot mas, ia biasa-biasa saja punya penis sebesar itu. Seperti ndak ada beban," katanya. Dian kemudian memain-mainkan penisku. "Aku jadi ketagihan ama punyamu mas, gimana nih?"

Ia mengusap-usap kepala penisku dengan telunjuknya. Penisku otomatis berdiri lagi.

"Kalau mau, tiap ada kesempatan boleh koq," jawabku.

"Maaf ya mbak Nur, tapi penis suamimu emang menggoda, mmuuuacchh...," ia mencium penisku.

Aku remas dadanya lagi. Kami berpanggutan. Libido kami naik lagi. Kali ini Dian jongkok di atas tubuhku. Ia duduk di atas penisku. Sengaja tak dimasukkan, hanya digesek-gesek. Sepertinya ia sedang mengujiku.

"Enak mas, kalau diginikan?" tanyanya.

Aku yang bersandar disofa ini segera menyusu kepadanya. Kuremas-remas pantatnya dan tanganku satunya mengarahkan penisku ke lubang memeknya. Dan SLEB....

"Aww...aww..mass...ohh...," keluhnya.

Pantat Dian naik turun memompa penisku. Aku tahu pada posisi ini wanita lebih cepat keluarnya. Aku tetap sabar untuk bisa memberikan kepuasan kepadanya. Buah dadanya naik turun, kadang-kadang menampar-nampar bibirku. Aku jadi gemas sehingga memencet dan menghisap puting susunya dengan mulutku. Ia kelonjotan dan makin beringas. Tak hanya naik turun, ia juga memutar-mutar pantatnya.

"Mas, koq cepet keluar ya? Aduh...udah mau keluar lagi....aahhhhkk," Dian menghentikan aktivitasnya. Ia benamkan penisku dalam-dalam ke rahimnya. Ia memelukku erat seperti orgasmenya tadi. Perlahan-lahan aku mencabut senjataku. Kubimbing Dian untuk menungging di sofa. Ia mengerti apa yang aku inginkan. Aku berdiri dan pantatnya diangkat. Kubuka kakiku untuk menyesuaikan tingginya. Lalu kuarahkan pionku menuju sarangnya. Dengan satu sentakan ia mengeluh dan menengadahkan kepalanya.

Pantatnya kusodok berkali-kali. Sensasinya nikmat sekali. Sesekali aku meremas toketnya yang bergerak naik turun seiring goyanganku itu. Rambut Dian sudah awut-awutan. Tangannya bertumpu kepada sofa, sesekali sofa di ruang tamu itu terdorong karena hentakanku.

"Mas, mentok mas, penis mas kerasa penuh," katanya.

"Memekmu juga, rasanya enak," kataku.

"Aduhhh...enak mas, mas...ahhh....ohh."

Aku percepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantat Dian beradu denganselakanganku. Kepalanya menggeleng-geleng, ia tampak merasakan nikmat yang luar biasa.

"Mas...Dian mau keluar lagi," katanya. "Aduuh....enak mas..masss...udah mas..Dian ndak kuat...Dian...keluar lagi."

Aku pun begitu, kurasa penisku udah siap menyemburkan laharnya lagi. Dan benarlah. Kupercepat goyanganku, "Aku juga nih...mau keluar lagi."

Aku lalu menarik kedua lengannya ke belakang dan pantatnya aku goyang. Makin lama makin cepat dan keluarlah laharku. Dian pun menangkat wajahnya ke atas. Ia mendongak dan matanya memutih. Penisku seperti disiram cairan hangat. Ia sudah orgasme. Kami berbarengan, ia kemudian ambruk, penisku langsung keluar begitu saja ketika ia ambruk ke atas sofa. Tampak leleran lendir panjang terbentuk ketika kedua kelamin kami berpisah. Beberapa cairan spermaku sisa-sisanya masih menetes dan jatuh di atas pantatnya. Aku juga lemes banget.

"Mas hebat, pantas mbak Nur sayang banget ama mas," katanya.

Aku melihat jam dinding, sudah jam 2 pagi. Berarti kami cukup lama bercinta.

"Boleh nih, pinjam kamar mandinya dulu," kataku.

Ia mengiyakan. Aku lalu membersihkan diriku. Biar ndak disangka macam-macam kalau balik ke pos ronda. Setelah itu aku keluar kamar mandi tampak Dian sudah berpakaian dan membersikan sisa-sisa sperma yang tumpah ke sofa. Ia juga menyemprotkan wewangian biar ndak ketahuan suaminya kalau ada sperma tumpah di situ.

"Udah ya, mau balik," kataku. "Ntar bapak-bapak curiga malahan."

"Iya, mas. Makasih ya," katanya. "Kalau boleh, mas main lagi ya? Tapi jangan sampai mas Joko tahu."

"Iya deh, bisa diatur," kataku. Aku pun mencium bibirnya sebelum keluar rumahnya.

Setelah itu aku pulang sebentar mengambil jaket dan sarung. Nur tampak tertidur sambil menjaga anakku. Aku mencium keningnya sebentar.

"Koq udah pulang mas?" tanya Nur tak curiga.

"Ngambil jaket dan sarung. Dingin banget soalnya," kataku.

"Ohh...ya udah," katanya.

Sekembalinya ke pos ronda, bapak-bapak meledekku lagi. "Nah iya kan, lama banget baliknya."

Kami pun akhirnya nonton bareng sampe subuh. Lalu kembali ke rumah masing-masing. Pagi itu aku tidur sampe siang. Untungnya istriku pengertian banget karena mengira aku memang beneran nonton bareng ama bapak-bapak. Di kamar aku terkapar karena kelelahan habis main sama Dian. Aku tahu paginya Dian sudah ke rumahku untuk membantu-bantu istriku. Hanya saja, siangnya ada sesuatu yang aneh.

Penisku geli banget. Seperti ada sesuatu yang menggelitikinya. Aku kira itu Nur. Mataku masih terpejam. Mungkin Nur sudah kangen karena beberapa waktu ini kita memang tidak main. Semenjak setelah nifasnya selesai lebih tepatnya. Aku biarkan saja. Penisku dikocok-kocok, lalu setelah itu diemut. Diputar-putarnya kepala penisku dengan lidah. Setelah itu testisku disedot-sedot. Kemudian dijilatlah dari pangkal hingga ujung. Kemudian batangnya disedot dan diciumi. Setelah itu dimasukkan ke mulutnya hingga mentok. Aku bisa merasakan itu dari nafas hidungnya yang hampir menyentuh perutku. Aku jadi bingung, Nur ndak mungkin melakukan ini, sebab mulutnya terlalu kecil dan ia tak pernah melakukan deep throat kecuali.....

Mataku lalu terbuka, aku melihat Dian tampak mengoral penisku.

"Dian?" aku terkejut.

"Udah bangun mas? Enak nda?" tanyanya.

"I...iya, Nur dimana?" tanyaku.

"Dia sedang ke puskesmas, imunisasi katanya. Takut bangunin mas jadi dia pergi sendiri," katanya.

"Lha trus kamu? Nanti ketahuan lho," kataku.

"Nggaklah, mas. Aku tahu koq sudah kuatur. Aku kangen ini soalnya," katanya sambil mengocok penisku.

"Tapi...,"

"Udah, deh. Pake toket aja ya?" katanya.

Ia lalu membuka bajunya, kemudian branya, tampaknya buah dadanya menggantung bebas. Ia lalu berbaring di atas kakiku dan memposisikan penisku dijepit oleh bukit kembarnya. Ouuhh...nikmat. Penisku dipijat-pijat, ia sesekali menghisap dan menciumnya. Penisku makin tegang dan mau muncrat.

"Dian, udah aku mau keluar...ooouuuhhhh....!!" aku menjerit tertahan. Dian malahan mempercepat kocokan toketnya. Maka menyemburlah air maniku. Tumpah semuanya di dada dan sebagian ke lehernya. Ia tertawa menyaksikan ini.

Setelah penisku lemas ia meratakan spermaku di dadanya. Kemudian ia menghisap penisku dan menjilati sisa-sisa spermanya. Penisku ngilu banget.

"Udah ya,hihihi," ia cekikikan lalu meninggalkanku yang ngerasain penis ngilu.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar